Oleh:
Itsnaatul
Lathifah
Hak
Asasi Manusia merupakan suatu gagasan ide tentang kesepakatan terkait hak-hak
dasar yang dimiliki manusia. Hanya karena ia manusia, tanpa ada satupun yang
membatasinya, status sosial, ekonomi maupun agama. Meski perdebatan tak pernah
usai, sesungguhnya HAM hanya ingin membawa kita pada suatu kesepakatan tunggal
yang secara murni dilandaskan pada sebuah nilai. Nilai yang mutlak adanya di setiap
insan yang terlahir di dunia. Bukan lagi melihat pada status-status yang
disandangnya.
Bukan dalam rangka untuk menjadikan HAM sebagai agama baru, tetapi
konsensus atas nama HAM itu penting untuk kemaslahatan bersama. Kita tidak
pernah bisa sepakat atas nama agama. Setiap agama di dunia ini ingin diakui
sama-sama benarnya. Tetapi manusia ingin hal lain, baginya agamanyalah yang
nomer satu dan paling benar. Saya geli ketika seorang teman ala konservatif dan
banyak orang yang setipe dengan teman saya menyebut HAM sebagai agama baru.
Bagi saya HAM tidak membatasi agama manapun dalam ruang gerak manusia. Tetapi
agama memiliki sifat mengkotak-kotakkan. Selalu ada sekat yang saling membatasi
antar agama. Jangankan agama yang berbeda, agama yang samapun banyak hal yang
tidak bisa disepakati.
Saya teringat dengan Mr. Moo seorang Budhis dari Thailand. Suatu
sore, saya dan teman-teman sedang mengikuti bincang-bincang antara Mr. Moo dan
Mas Hairus Salim. Panjang lebar perdebatan sore itu saya simpulkan bahwa jika
kita mencari titik temu semua persoalan ataupun konflik antar umat manusia maka
kita akan bertemu pada bingkai humanity. Konkritnya begini, ketika saya melihat orang-orang Palestina
diserang oleh Israel, saya merasa simpati dan empati terhadap korban, bukan
karena mereka muslim tetapi saya merasa sedih sekali ketika saya membayangkan
jika saya menjadi mereka. Dalam hal ini saya berusaha membangun Sense Humanity,
bukan lagi memandang pada agama korban. Hal ini penting saya tuliskan sebab, di
tengah kecenderungan masyarakat Indonesia yang mudah simpati dan empati
terhadap suatu isu hanya berdasarkan pada kesamaan agama meski di negeri nan
jauh disana dan abai terhadap saudara sebangsa yang mengalami persoalan yang
sama, terampas, teraniyaya dan tergusur.
Perbedaan memang fitrah yang telah dikehendaki oleh Tuhan,
keyakinan umat manusia sengaja diciptakan secara beragam. Sejauh pengamatan
penulis, membenarkan salah satu agama dalam kebenaran kolektif atau kebenaran
yang dianut mayoritas adalah hal kurang tepat, kenapa? Karena agama adalah
suatu keyakinan yang diyakini oleh masing-masing individu, sedangkan individu
dengan individu yang lainnya bisa jadi berbeda paham meski dalam agama yang
sama. Masing-masing tidak butuh pembenaran atas kepercayaannya, yang terpenting
adalah keyakinan total atas agama pilihannya. Agama bukan lagi urusan manusia
dengan manusia, ini adalah hubungan antara manusia dengan tuhannya. Atas dasar
ini legitimasi dari siapapun tidak ada pengaruhnya dengan keyakinan hati.
Demikian menunjukkan bahwa agama bukanlah hal yang universal. Dalam
posisi tertentu kita memang harus mengesampingkan agama, misalkan dalam ranah
publik HAM harus dikedepankan dari pada agama. Namun dalam kondisi lain dan
berkaitan dengan personal individu agama akan dimenangkan ketimbang HAM selama
tidak bersangkut paut dengan hak orang lain (publik).
Agama dan HAM memiliki cita-cita yang sama, Keduanya memiliki misi
kebaikan untuk manusia. Lahirnya HAM tidak terlepas dari kondisi pergolakan
bangsa barat. Sejarah panjang HAM di berbagai belahan dunia memiliki orientasi
yang berbeda-beda. Ada yang murni karena kemanusiaan seperti yang terjadi pasca
perang dunia, Palang Merah Inetrnasional (ICRC) bergerak murni atas panggilan kemanusiaan
bukan kepentingan. Ada pula yang menjadikan HAM sebagai kambing hitam atas
kepentingan terselubung, semisal campurtangan Amerika di negara Timur Tengah
yang mengatasnamakan HAM. Citra HAM yang demikian membuat beberapa orang
menjadi anti pati terhadap HAM, apalagi melihat kenyataan implementasi HAM di
Barat hari ini yang mengusung tinggi arti kebebasan seluas-luasnya dan
mengesampingkan agama.
Maklum jika bangsa barat bersikap demikian, negara yang mereka
usung sebagai negara sekuler berimplikasi pada menyusutnya peran agama pada
negara. Jadi wajar saja kebebasan menjadi hal yang vital disana. Lantas
haruskah kita menolak atau menerima HAM? Menolak HAM atas dasar kepicikan
pikiran seperti anggapan beberapa orang yang dengan serta merta menolak segala
hal yang berbau-bau barat tanpa melihat sisi positifnya adalah hal yang kurang
bijaksana. Tetapi menerima konsep HAM secara utuh tanpa adanya modifikasi juga
kurang tepat.
Semisal, kebebasan adalah salah satu ide yang ditawarkan oleh HAM. Jika
kita kaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an, kita tidak bisa menerima konsep
kebebasan yang ditawarkan oleh HAM secara mentah-mentah. Di Indonesia, kebebasan
bukan hal mutlak, masih ada koridor yang membatasi ruang gerak kita. Sebab ada
filter yang sangat dijunjung tinggi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Butir-butir yang ada di Pancasila jelas menunjukkan kita jauh berbeda dengan
barat. Butir kemanusiaan berada pada urutan kedua setelah Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hal ini menunjukkan bahwasannya kemanusiaan tingkatannya lebih rendah dari
butir Ketuhanan. Artinya, HAM dibatasi oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pancasila sebagai nilai tertinggi bangsa ini harus dilestarikan. Koeksistensi
damai yang berhasil diusung di tengah multikultural dan multidimensi Indonesia
adalah berkat Pancasila juga.
Jika hari ini kita masih berdebat seputar konsep HAM, menerima
ataukah menolak? Celakalah kita sebagai bangsa. Perdebatan bukan lagi pada tataran
konsep tetapi lebih ke arah bagaimana implementasi HAM di negeri ini. Bagaimana
kita menagawal tegaknya HAM, bagaimana
hak-hak kemanusiaan terjamin. Demikian perlu adanya dinamisasai antara agama,
HAM dan nilai ke-Indonesia-an. Bagaimana kita menambal kekurangan dari
ketiganya dengan menyulam kelebihan dari ketiganya, jadi saling melengkapi
antara satu dengan yang lainnya dengan tidak menebus batas-batas yang digariskan
yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
Wallaahu a’lam bisshowaab. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar