Rabu, 25 Februari 2015

SEBUAH TITIK TEMU



HAK ASASI MANUSIA : Sebuah Titik Temu
Oleh:
Itsnaatul Lathifah

Hak Asasi Manusia merupakan suatu gagasan ide tentang kesepakatan terkait hak-hak dasar yang dimiliki manusia. Hanya karena ia manusia, tanpa ada satupun yang membatasinya, status sosial, ekonomi maupun agama. Meski perdebatan tak pernah usai, sesungguhnya HAM hanya ingin membawa kita pada suatu kesepakatan tunggal yang secara murni dilandaskan pada sebuah nilai. Nilai yang mutlak adanya di setiap insan yang terlahir di dunia. Bukan lagi melihat pada status-status yang disandangnya.
Bukan dalam rangka untuk menjadikan HAM sebagai agama baru, tetapi konsensus atas nama HAM itu penting untuk kemaslahatan bersama. Kita tidak pernah bisa sepakat atas nama agama. Setiap agama di dunia ini ingin diakui sama-sama benarnya. Tetapi manusia ingin hal lain, baginya agamanyalah yang nomer satu dan paling benar. Saya geli ketika seorang teman ala konservatif dan banyak orang yang setipe dengan teman saya menyebut HAM sebagai agama baru. Bagi saya HAM tidak membatasi agama manapun dalam ruang gerak manusia. Tetapi agama memiliki sifat mengkotak-kotakkan. Selalu ada sekat yang saling membatasi antar agama. Jangankan agama yang berbeda, agama yang samapun banyak hal yang tidak bisa disepakati.
Saya teringat dengan Mr. Moo seorang Budhis dari Thailand. Suatu sore, saya dan teman-teman sedang mengikuti bincang-bincang antara Mr. Moo dan Mas Hairus Salim. Panjang lebar perdebatan sore itu saya simpulkan bahwa jika kita mencari titik temu semua persoalan ataupun konflik antar umat manusia maka kita akan bertemu pada bingkai humanity. Konkritnya begini,  ketika saya melihat orang-orang Palestina diserang oleh Israel, saya merasa simpati dan empati terhadap korban, bukan karena mereka muslim tetapi saya merasa sedih sekali ketika saya membayangkan jika saya menjadi mereka. Dalam hal ini saya berusaha membangun Sense Humanity, bukan lagi memandang pada agama korban. Hal ini penting saya tuliskan sebab, di tengah kecenderungan masyarakat Indonesia yang mudah simpati dan empati terhadap suatu isu hanya berdasarkan pada kesamaan agama meski di negeri nan jauh disana dan abai terhadap saudara sebangsa yang mengalami persoalan yang sama, terampas, teraniyaya dan tergusur.
Perbedaan memang fitrah yang telah dikehendaki oleh Tuhan, keyakinan umat manusia sengaja diciptakan secara beragam. Sejauh pengamatan penulis, membenarkan salah satu agama dalam kebenaran kolektif atau kebenaran yang dianut mayoritas adalah hal kurang tepat, kenapa? Karena agama adalah suatu keyakinan yang diyakini oleh masing-masing individu, sedangkan individu dengan individu yang lainnya bisa jadi berbeda paham meski dalam agama yang sama. Masing-masing tidak butuh pembenaran atas kepercayaannya, yang terpenting adalah keyakinan total atas agama pilihannya. Agama bukan lagi urusan manusia dengan manusia, ini adalah hubungan antara manusia dengan tuhannya. Atas dasar ini legitimasi dari siapapun tidak ada pengaruhnya dengan keyakinan hati.
Demikian menunjukkan bahwa agama bukanlah hal yang universal. Dalam posisi tertentu kita memang harus mengesampingkan agama, misalkan dalam ranah publik HAM harus dikedepankan dari pada agama. Namun dalam kondisi lain dan berkaitan dengan personal individu agama akan dimenangkan ketimbang HAM selama tidak bersangkut paut dengan hak orang lain (publik).
Agama dan HAM memiliki cita-cita yang sama, Keduanya memiliki misi kebaikan untuk manusia. Lahirnya HAM tidak terlepas dari kondisi pergolakan bangsa barat. Sejarah panjang HAM di berbagai belahan dunia memiliki orientasi yang berbeda-beda. Ada yang murni karena kemanusiaan seperti yang terjadi pasca perang dunia, Palang Merah Inetrnasional (ICRC) bergerak murni atas panggilan kemanusiaan bukan kepentingan. Ada pula yang menjadikan HAM sebagai kambing hitam atas kepentingan terselubung, semisal campurtangan Amerika di negara Timur Tengah yang mengatasnamakan HAM. Citra HAM yang demikian membuat beberapa orang menjadi anti pati terhadap HAM, apalagi melihat kenyataan implementasi HAM di Barat hari ini yang mengusung tinggi arti kebebasan seluas-luasnya dan mengesampingkan agama.
Maklum jika bangsa barat bersikap demikian, negara yang mereka usung sebagai negara sekuler berimplikasi pada menyusutnya peran agama pada negara. Jadi wajar saja kebebasan menjadi hal yang vital disana. Lantas haruskah kita menolak atau menerima HAM? Menolak HAM atas dasar kepicikan pikiran seperti anggapan beberapa orang yang dengan serta merta menolak segala hal yang berbau-bau barat tanpa melihat sisi positifnya adalah hal yang kurang bijaksana. Tetapi menerima konsep HAM secara utuh tanpa adanya modifikasi juga kurang tepat.
Semisal, kebebasan adalah salah satu ide yang ditawarkan oleh HAM. Jika kita kaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an, kita tidak bisa menerima konsep kebebasan yang ditawarkan oleh HAM secara mentah-mentah. Di Indonesia, kebebasan bukan hal mutlak, masih ada koridor yang membatasi ruang gerak kita. Sebab ada filter yang sangat dijunjung tinggi bangsa Indonesia yakni Pancasila. Butir-butir yang ada di Pancasila jelas menunjukkan kita jauh berbeda dengan barat. Butir kemanusiaan berada pada urutan kedua setelah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwasannya kemanusiaan tingkatannya lebih rendah dari butir Ketuhanan. Artinya, HAM dibatasi oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai nilai tertinggi bangsa ini harus dilestarikan. Koeksistensi damai yang berhasil diusung di tengah multikultural dan multidimensi Indonesia adalah berkat Pancasila juga.
Jika hari ini kita masih berdebat seputar konsep HAM, menerima ataukah menolak? Celakalah kita sebagai bangsa. Perdebatan bukan lagi pada tataran konsep tetapi lebih ke arah bagaimana implementasi HAM di negeri ini. Bagaimana kita menagawal tegaknya HAM,  bagaimana hak-hak kemanusiaan terjamin. Demikian perlu adanya dinamisasai antara agama, HAM dan nilai ke-Indonesia-an. Bagaimana kita menambal kekurangan dari ketiganya dengan menyulam kelebihan dari ketiganya, jadi saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya dengan tidak menebus batas-batas yang digariskan yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
Wallaahu a’lam bisshowaab. . .  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar