Minggu, 22 Februari 2015

QONA'AH, BERSYUKUR DAN MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN



RANGKUMAN HADITS NO. 376, 377 & 378
(مختار الأحاديث النبوية)

Dipresentasikan pada hari Ahad, 22 Februari 2015

بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits No. 376
Oleh: Nur’aini Salimah

Terjemah:
Menunggu kelapangan dari Allah itu merupakan ibadah. Dan barangsiapa yang rela dengan sedikitnya rezeki, maka Allah pun ridho dengan sedikitnya ‘amal orang tersebut.
(HR. Ibn Abi ad-Dunya)

Penjelasan Hadits:
Inti dari hadist ini menerangkan tentang Qona’ah, yaitu menerima apa adanya tanpa mengharap lebih. Jadi barangsiapa yang menginginkan sesuatu, tetapi sesuatu tersebut belum dikabulkan oleh Allah, maka orang tersebut mau tidak mau harus menunggu. Dan apabila orang tersebut menunggunya dengan sabar, ikhlas, maka masa menunggunya itu termasuk pahala dan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Meskipun amal orang tersebut sedikit, tetapi Allah tetap ridho.
Contohnya yaitu seorang penjual bubur (tukang bubur) menginginkan sesuatu yaitu naik haji, tetapi Allah belum mengabulkan keinginan tukang bubur tersebut, maka orang tersebut harus menunggu keinginannya dikabulkan oleh Allah SWT dengan sabar dan ikhlas. Maka Allah akan memberikan pahala untuk orang tersebut, meskipun kalau dilihat dari segi amalnya sedikit, tetapi Allah akan tetap ridho dengan amal orang tersebut.


Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan dalam QS. Yusuf ayat 87:
“Wahai anak-anakku!!! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggunya yang berputus asa dari rahmat Allah hanya orang-orang kafir.”

Dalam hadist lain juga dijelaskan dari Abdillah bin Amr:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Sungguh beruntung orang yang beragama islam dan dicukupi rizkinya kemudian merasa cukup dengan apa yang di berikan Allah kepadanya.”
(HR Muslim)

Tambahan:
1.      Hadits ini cakupan luasnya menerangkan tentang penerimaan terhadap qodlo dan qadar Allah dengan sabar.
2.      Menunggu adalah termasuk ibadah, terkandung nilai ibadah jika dijalani dengan sabar dan ikhlas. Orang miskin tidaklah masalah, kecuali jika ia tidak menerima kemiskinannya dengan lapang dada (sabar dan ikhlas). Orang miskin yang sabar sama tingkatannya dengan orang kaya yang mensyukuri kekayaannya dengan berbagi kepada sesama.
3.      Cara untuk bersabar yaitu dengan tidak bengok-bengok, mengeluh, kegalauan dibeber-beberkan, dan segala dibicarakan/diungkapkan kepada orang lain. Melainkan menggunakan masa menunggu itu dengan melakukan hal positif serta produktif.
4.      Pelajaran inti dari hadits diatas terkandung bagian di dalamnya yaitu:
a.       Qona’ah, yaitu menerima apa yang telah diberikan/dianugerahkan. Dan ini berlaku untuk semua orang tidak hanya orang miskin ataupun orang kaya. Orang kaya yang qona’ah yaitu ia yang tidak rakus/ngoyo terhadap harta.

Terdapat empat hal yang menjadikan agama dan atau negara menjadi tegak (tidak goyah/pincang), yaitu: 1) Orang pintar yang mengamalkan ilmunya, 2) Orang bodoh yang mau belajar, 3) Orang kaya yang berderma, 4) Orang miskin yang sabar. Jika keempat hal tersebut semuanya kompak atau sinergi, maka akan menjadikan agama dan atau negara menjadi tegak.

Jika kita ridlo atau menerima apa yang telah diberikan, maka akan enak, nyaman dan tenang dalam menjalani kehidupan ini.

Salah satu contoh mengapa saat ini orang bodoh tetap eksis dengan kebodohannya yaitu kemungkinan keengganan orang pintar untuk mengamalkan dan menyampaikan ilmunya dengan ikhlas. Sehingga tidak ada lagi yang mau, akhirnya orang bodohlah yang berperan. Hal ini merupakan kritik pedas, sebagai introspeksi dan mengandung tanggungjawab kita sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu, yang berusaha untuk menghilangkan kebodohan.
b.      Amal itu yang terpenting adalah diterima oleh Allah SWT meskipun sedikit.
Jangan sampai ada pemahaman yang keliru tentang hal itu. Sedikit perbaikan dari penjelasan hadits diatas bahwa seorang tukang bubur bukan berarti ia memiliki amalan yang sedikit dibandingkan seorang kyai. Karena yang terpenting adalah keikhlasannya, bagaimana ia meracik, mengolah bubur dengan baik dan melayani pembeli dengan adil maka mungkin saja tukang bubur tersebut lebih baik derajatnya dalam pandangan Allah SWT.
5.      Jika kita menerapkan standar tinggi pada diri kita, maka Allah pun akan menerapkannya pada kita. Dengan kata lain, contohnya jika kita menginginkan barang yang bermerk (branded), maka seyogyanya kualitas ibadah kitapun harus tinggi standarnya.

Hadits No. 377
Oleh: Nur Asiyah

Hadits dan Terjemah:
انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau lihat orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”
(HR. Imam Ibn Maajah)

Penjelasan Hadits:
Sering terbersit dalam benak kita sebuah tanya, mengapa setiap kali melihat orang yang diberi kelebihan oleh Allah dari sisi materi, dada kita menjadi sesak, jiwa kita lelah, ada hasrat untuk memiliki apa yang mereka miliki. Tak jarang hasrat itu membuat nikmat yang ada dalam genggaman seolah tak ada artinya. Jawabannya, karena kita lalai dalam mengamalkan wasiat Rasulullah shallahu alaihi wasallam.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
“Jika salah seorang diantara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.”
 (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua hadits di atas mengandung pelajaran penting untuk setiap muslim agar mereka selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia. Karena melihat ke atas hanya akan membuat diri berkeluh kesah, dada menjadi sesak, pikiran menjadi kalut, hati menjadi lelah memikirkan dunia yang seolah berpihak pada orang lain. Dan pada akhirnya diri inipun lalai mensyukuri karunia Allah yang ada.
Namun bila kita melihat ke bawah, kita akan tau bahwa ada orang lain yang hidupnya jauh lebih sulit dari kita, sehingga hati terpanggil untuk mensyukuri berbagai karunia itu. Sudah selayaknya bagi seorang mukmin untuk tidak menolehkan pandangannya kepada ahli dunia, karena hal itu hanya akan menumbuhkan kekaguman yang selalu berakhir dengan jiwa yang lelah..
Allah azza wajalla berfirman:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Artinya:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Thaa Haa: 131)

Berhentilah menatap dan mengharap kemegahan dunia yang ada pada orang lain, syukuri apa yang ada. Agar kita menjadi hamba yang qanaah. Ingat! Ini bukan soal banyak atau sedikit, tapi murni soal keberkahan.
Itu dalam perkara dunia, adapun dalam perkara agama/akhirat yang berlaku adalah sebaliknya. Seorang muslim diperintahkan untuk selalu melihat ke atas, kepada orang yang lebih baik darinya dalam hal ketaqwaan, amal sholeh dan ketaatan lainnya. Agar semangatnya terpacu untuk terus mempersembahkan amal terbaik disisa waktu yang ada.

Tambahan:
1.      Hadits diatas merupakan termasuk hadits populer, yang mengingatkan tentang bagian dari ajaran sabar, syukur dan qona’ah.
2.      Memberi satu alasan mengapa kita harus melihat ke bawah? Yakni agar kita senantiasa tidak meremehkan nikmat yang ada dan itu akan mengantarkan kita agar menjadi pribadi yang mudah bersyukur.
3.      Sesuatu yang penting bahwa yang menjadi kebanggaan bukanlah hal yang berbau duniawi melainkan ketaqwaan (اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَى كُمْ)

Hadits No. 378
Terjemah:
“Tolonglah saudaramu dalam keadaan didholimi atau dalam keadaan berlaku dholim. Nabi ditanya: “Bagaimana aku menolong terhadap orang yang berlaku dholim?” Nabi menjawab: “Yaitu dengan cara engkau menghalanginya dan mengembalikannya (mencegah/mengingatkan) agar tidak berlaku dholim lagi.”
(HR. Imam Bukhari)

Penjelasan Hadits:
Hadits diatas merupakan ungkapan orang Arab Jahiliyah (unshur akhooka). Karena orang Arab Jahiliyah terkenal karena persaudaraannya, kesukuannya, dan itulah yang menyebabkannya ia menjadi fanatisme buta (al ‘ashobiyyah). Sehingga membela orang lain bukanlah atas dasar prinsip kebenaran dan keadilan melainkan karena kesukuan, persaudaraan dan kekeluargaan. Jadi jika saat ini terdapat orang yang fanatik (fanatisme) dalam hal apapun maka sama saja seperti orang Arab Jahiliyah. Ungkapan yang dikatakan oleh Kenedy tentang fanatisme yaitu “Right or wrong is my country.”
Sebutan Jahiliyah sebenarnya bukan berarti kaum tersebut bodoh, tetapi ia pethuk, yaitu ia tahu mana yang benar tetapi enggan untuk menjalankan/melakukannya. Dari aspek intelektual, mereka adalah orang yang cerdas. Hal itu dibuktikan dengan tradisinya yang suka membuat bait-bait sya’ir yang indah, menghafal nama-nama nenek moyang mereka 15-20 keturunan keatas, dan juga hafal sejarah nenek moyang mereka.
Berdasarkan hadits diatas terlihat betapa luar biasanya Rasulullah SAW. Beliau menggunakan ungkapan yang sama (tetap melestarikan tradisi Arab Jahiliyah) tetapi maknanya sungguh berbeda. Konsep Islam yaitu menjunjung tinggi kebenaran, bukan karena sebab kekeluargaan, persaudaraan atau kesukuan.
Secara konsep yang lebih luas yaitu tentang Nasionalisme (hubbul wathon). Nasionalisme dibolehkan, tetapi yang mendukung ajaran Islam dan tidak bertentangan dengannya. Yaitu yang paling penting menjaga misi keagamaan itu sendiri. Sejarah menceritakan tentang peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Ketika Mekkah sudah tidak aman dan masyarakatnya sudah membangkang, enggan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah, beliau pindah/hijrah ke Madinah. Padahal  Mekkah adalah tanah kelahiran Nabi Muhammad yang beliau cintai. Rasulullah pun berkata jika saja putriku, Sayyidah Fathimah mencuri, maka beliau sendiri yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jadilah wanita yang kuat, yang  menjunjung tinggi dan membela kebenaran seperti ajaran Rasulullah SAW.
Saat ini terlihat adanya krisis kepemimpinan disebabkan pemimpin melaksanakan tugas kepemimpinannya untuk melindungi keluarganya, tidak menegakkan prinsip kebenaran walaupun mereka berbuat salah.

Wallaahu a’lam bis showaab. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar