RANGKUMAN HADITS NO. 376, 377 & 378
(مختار
الأحاديث النبوية)
Dipresentasikan pada hari
Ahad, 22 Februari 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits No. 376
Oleh: Nur’aini Salimah
Terjemah:
“Menunggu kelapangan dari Allah itu merupakan ibadah. Dan
barangsiapa yang rela dengan sedikitnya rezeki, maka Allah pun
ridho dengan sedikitnya ‘amal orang tersebut.”
(HR. Ibn Abi ad-Dunya)
Penjelasan Hadits:
Inti dari hadist ini menerangkan tentang Qona’ah,
yaitu menerima apa adanya tanpa mengharap lebih. Jadi barangsiapa yang menginginkan
sesuatu, tetapi sesuatu tersebut belum dikabulkan oleh Allah, maka orang
tersebut mau tidak mau harus menunggu. Dan apabila orang tersebut menunggunya
dengan sabar, ikhlas, maka masa menunggunya itu termasuk pahala dan akan mendapatkan
pahala dari Allah SWT. Meskipun amal orang tersebut sedikit, tetapi Allah tetap
ridho.
Contohnya yaitu seorang penjual bubur (tukang
bubur) menginginkan sesuatu yaitu naik haji, tetapi Allah belum mengabulkan
keinginan tukang bubur tersebut, maka orang tersebut harus menunggu keinginannya
dikabulkan oleh Allah SWT dengan sabar dan ikhlas. Maka Allah akan memberikan
pahala untuk orang tersebut, meskipun kalau dilihat dari segi amalnya sedikit, tetapi
Allah akan tetap ridho dengan amal orang tersebut.
Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan dalam QS. Yusuf
ayat 87:
“Wahai
anak-anakku!!! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggunya yang berputus asa dari
rahmat Allah hanya orang-orang kafir.”
Dalam hadist lain juga dijelaskan dari
Abdillah bin Amr:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Sungguh
beruntung orang yang beragama islam dan dicukupi rizkinya kemudian merasa cukup
dengan apa yang di berikan Allah kepadanya.”
(HR
Muslim)
Tambahan:
1. Hadits ini cakupan luasnya menerangkan tentang penerimaan terhadap qodlo
dan qadar Allah dengan sabar.
2. Menunggu adalah termasuk ibadah, terkandung nilai ibadah jika dijalani
dengan sabar dan ikhlas. Orang miskin tidaklah masalah, kecuali jika ia tidak
menerima kemiskinannya dengan lapang dada (sabar dan ikhlas). Orang miskin yang
sabar sama tingkatannya dengan orang kaya yang mensyukuri kekayaannya dengan
berbagi kepada sesama.
3. Cara untuk bersabar yaitu dengan tidak bengok-bengok, mengeluh, kegalauan
dibeber-beberkan, dan segala dibicarakan/diungkapkan kepada orang lain. Melainkan
menggunakan masa menunggu itu dengan melakukan hal positif serta produktif.
4. Pelajaran inti dari hadits diatas terkandung bagian di dalamnya yaitu:
a.
Qona’ah, yaitu menerima apa yang telah
diberikan/dianugerahkan. Dan ini berlaku untuk semua orang tidak hanya orang
miskin ataupun orang kaya. Orang kaya yang qona’ah yaitu ia yang tidak
rakus/ngoyo terhadap harta.
Terdapat empat hal yang menjadikan agama dan
atau negara menjadi tegak (tidak goyah/pincang), yaitu: 1) Orang pintar yang
mengamalkan ilmunya, 2) Orang bodoh yang mau belajar, 3) Orang kaya yang
berderma, 4) Orang miskin yang sabar. Jika keempat hal tersebut semuanya kompak
atau sinergi, maka akan menjadikan agama dan atau negara menjadi tegak.
Jika kita ridlo atau menerima apa yang telah diberikan, maka akan enak,
nyaman dan tenang dalam menjalani kehidupan ini.
Salah satu contoh mengapa saat ini orang bodoh tetap eksis dengan
kebodohannya yaitu kemungkinan keengganan orang pintar untuk mengamalkan dan
menyampaikan ilmunya dengan ikhlas. Sehingga tidak ada lagi yang mau, akhirnya
orang bodohlah yang berperan. Hal ini merupakan kritik pedas, sebagai introspeksi
dan mengandung tanggungjawab kita sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu,
yang berusaha untuk menghilangkan kebodohan.
b. Amal itu yang terpenting adalah diterima oleh Allah SWT meskipun sedikit.
Jangan sampai ada pemahaman yang keliru tentang hal itu. Sedikit perbaikan
dari penjelasan hadits diatas bahwa seorang tukang bubur bukan berarti ia
memiliki amalan yang sedikit dibandingkan seorang kyai. Karena yang terpenting
adalah keikhlasannya, bagaimana ia meracik, mengolah bubur dengan baik dan melayani
pembeli dengan adil maka mungkin saja tukang bubur tersebut lebih baik
derajatnya dalam pandangan Allah SWT.
5.
Jika kita menerapkan standar tinggi pada diri
kita, maka Allah pun akan menerapkannya pada kita. Dengan kata lain, contohnya
jika kita menginginkan barang yang bermerk (branded), maka seyogyanya
kualitas ibadah kitapun harus tinggi standarnya.
Hadits No. 377
Oleh: Nur Asiyah
Hadits dan Terjemah:
“Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah
harta dan dunia) dan janganlah engkau lihat orang yang berada di atasmu. Dengan
demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”
(HR. Imam Ibn Maajah)
Penjelasan Hadits:
Sering terbersit dalam benak kita sebuah
tanya, mengapa setiap kali melihat orang yang diberi kelebihan oleh Allah dari sisi
materi, dada kita menjadi sesak, jiwa kita lelah, ada hasrat untuk memiliki apa
yang mereka miliki. Tak jarang hasrat itu membuat nikmat yang ada dalam genggaman
seolah tak ada artinya. Jawabannya, karena kita lalai dalam mengamalkan wasiat Rasulullah
shallahu alaihi wasallam.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل
منه
“Jika salah seorang
diantara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk
(rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada
orang yang berada di bawahnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua hadits di atas mengandung pelajaran penting untuk setiap muslim agar mereka selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia. Karena melihat ke atas hanya akan membuat diri berkeluh kesah, dada menjadi sesak, pikiran menjadi kalut, hati menjadi lelah memikirkan dunia yang seolah berpihak pada orang lain. Dan pada akhirnya diri inipun lalai mensyukuri karunia Allah
yang ada.
Namun bila kita melihat ke bawah, kita akan
tau bahwa ada orang lain yang hidupnya jauh lebih sulit dari kita, sehingga hati
terpanggil untuk mensyukuri berbagai karunia itu. Sudah selayaknya bagi seorang
mukmin untuk tidak menolehkan pandangannya kepada ahli dunia, karena hal itu hanya
akan menumbuhkan kekaguman yang selalu berakhir dengan jiwa yang lelah..
Allah ‘azza wajalla berfirman:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا
مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ
رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Artinya:
“Dan janganlah kamu
tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan
dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.
Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.
(QS. Thaa Haa: 131)
Berhentilah menatap dan mengharap kemegahan dunia yang ada pada orang lain, syukuri apa yang ada.
Agar kita menjadi hamba yang qan’aah. Ingat! Ini bukan soal banyak atau sedikit, tapi murni soal keberkahan.
Itu dalam perkara dunia, adapun dalam perkara
agama/akhirat yang berlaku adalah sebaliknya. Seorang muslim diperintahkan untuk
selalu melihat ke atas, kepada orang yang lebih baik darinya dalam hal ketaqwaan,
amal sholeh dan ketaatan lainnya. Agar
semangatnya terpacu untuk terus mempersembahkan amal terbaik disisa waktu yang ada.
Tambahan:
1. Hadits diatas merupakan termasuk hadits populer, yang mengingatkan tentang bagian
dari ajaran sabar, syukur dan qona’ah.
2. Memberi satu alasan mengapa kita harus melihat ke bawah? Yakni agar kita
senantiasa tidak meremehkan nikmat yang ada dan itu akan mengantarkan kita agar
menjadi pribadi yang mudah bersyukur.
3. Sesuatu yang penting bahwa yang menjadi kebanggaan bukanlah hal yang berbau
duniawi melainkan ketaqwaan (اِنَّ اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَاللهِ اَتْقَى كُمْ)
Hadits No. 378
Terjemah:
“Tolonglah saudaramu dalam keadaan didholimi
atau dalam keadaan berlaku dholim. Nabi ditanya: “Bagaimana aku menolong
terhadap orang yang berlaku dholim?” Nabi menjawab: “Yaitu dengan cara engkau
menghalanginya dan mengembalikannya (mencegah/mengingatkan) agar tidak berlaku
dholim lagi.”
(HR. Imam Bukhari)
Penjelasan Hadits:
Hadits diatas merupakan ungkapan orang Arab Jahiliyah
(unshur akhooka). Karena orang Arab Jahiliyah terkenal karena
persaudaraannya, kesukuannya, dan itulah yang menyebabkannya ia menjadi
fanatisme buta (al ‘ashobiyyah). Sehingga membela orang lain bukanlah
atas dasar prinsip kebenaran dan keadilan melainkan karena kesukuan,
persaudaraan dan kekeluargaan. Jadi jika saat ini terdapat orang yang fanatik
(fanatisme) dalam hal apapun maka sama saja seperti orang Arab Jahiliyah.
Ungkapan yang dikatakan oleh Kenedy tentang fanatisme yaitu “Right or wrong
is my country.”
Sebutan Jahiliyah sebenarnya bukan berarti
kaum tersebut bodoh, tetapi ia pethuk, yaitu ia tahu mana yang benar
tetapi enggan untuk menjalankan/melakukannya. Dari aspek intelektual,
mereka adalah orang yang cerdas. Hal itu dibuktikan dengan tradisinya yang suka
membuat bait-bait sya’ir yang indah, menghafal nama-nama nenek moyang mereka
15-20 keturunan keatas, dan juga hafal sejarah nenek moyang mereka.
Berdasarkan hadits diatas terlihat betapa luar
biasanya Rasulullah SAW. Beliau menggunakan ungkapan yang sama (tetap
melestarikan tradisi Arab Jahiliyah) tetapi maknanya sungguh berbeda. Konsep Islam
yaitu menjunjung tinggi kebenaran, bukan karena sebab kekeluargaan,
persaudaraan atau kesukuan.
Secara konsep yang lebih luas yaitu tentang
Nasionalisme (hubbul wathon). Nasionalisme dibolehkan, tetapi yang
mendukung ajaran Islam dan tidak bertentangan dengannya. Yaitu yang paling
penting menjaga misi keagamaan itu sendiri. Sejarah menceritakan tentang
peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Ketika Mekkah sudah tidak
aman dan masyarakatnya sudah membangkang, enggan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah,
beliau pindah/hijrah ke Madinah. Padahal Mekkah adalah tanah kelahiran Nabi Muhammad
yang beliau cintai. Rasulullah pun berkata jika saja putriku, Sayyidah Fathimah
mencuri, maka beliau sendiri yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu,
jadilah wanita yang kuat, yang menjunjung
tinggi dan membela kebenaran seperti ajaran Rasulullah SAW.
Saat ini terlihat adanya krisis kepemimpinan
disebabkan pemimpin melaksanakan tugas kepemimpinannya untuk melindungi
keluarganya, tidak menegakkan prinsip kebenaran walaupun mereka berbuat salah.
Wallaahu a’lam bis showaab. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar