Jubah
ala Nabi Muhammad atau Abu Jahal?
Oleh:
Itsnaatul
Lathifah
Setiap malam Rabu Kang Mus (panggilan akrab Kang Musthofa) mendapat
bagian jaga di pos ronda samping warung kopi milik Pak No. Biasanya, banyak
warga kampung yang nongkrong di pos ronda sembari ngopi di warung kopi itu.
Banyak yang dibicarakan di sana, mulai dari sapi Pak Men yang habis lahiran, ustad
yang nginjak kepala, KPK yang sita sana-sini sampai konflik Rusia-Ukraina. Di
kampung itu, pos ronda memang memiliki peranan penting sebagai media bersosialisasi
antarwarga, sekedar beramah tamah atau membahas hal-hal yang menyangkut eksistensi
mereka.
Di kala Kang Mus jaga, pos ronda itu semakin penuh dengan warga.
Memang Kang Mus terkenal dengan sifatnya yag ramah serta keilmuan yang luas bak
samudera. Meski dalam kesibukan yang luar biasa, Kang Mus selalu meluangkan
waktu untuk agenda rondanya di malam Rabu.
Malam itu pembicaraan antara Kang Mus dengan warga diawali dengan
celetukan Kang San (panggilan akrab Kang Hasan) di tengah-tengah keriuhan pos
ronda.
“Kang Mus, ayo kita bahas soal tata krama berbusana”, pinta Kang San
bersemangat.
“Pie? Apa yang mau
dibahas?”, respon Kang Mus sembari menikmati singkong goreng yang menjadi suguhan
wajib di pos ronda.
“Kang, menurut panjenengan berbusana yang baik ala Islam itu
apa?”
“Lha menurutmu apa Kang San?” Bukannya menjawab, Kang Mus justru bertanya
balik dengan Kang San. Memang begitulah metode Kang Mus dalam mendidik
warganya, selalu menjelaskan sesuatu yang diawali dengan pertanyaan. Biar tidak
terkesan menggurui, metode seperti ini juga efektif untuk mempertajam pemikiran warganya, agar
selalu berpikir logis dan kritis.
“Begini Kang Mus, saya beranggapan berbusana yang baik ya seperti
kanjeng Nabi, pakai jubah juga sorban.”
Jawab Kang San singkat.
“Lantas, mengapa Kang San tidak memakai busana demikian ?” Kang Mus
merespon Kang San dengan pertanyaan lagi.
“Saya bingung Kang Mus. Kata orang-orang berbusana yang baik ya...pakai
jubah dan sorban seperti kanjeng Nabi, tapi Kang Mus kok berbusananya tidak
demikian? Lha saya kan niru kang mus.” Memang begitulah Kang San, pemuda polos
yang banyak tanya dan selalu manut dengan Kang Mus.
“Hahaha...” Gelegar tawa Kang Mus dan para warga yang dari tadi
menyimak jawaban Kang San.
“Begini Kang San, berbusana itu yang penting tidak menyalahi aturan
agama, toh bukan berarti harus sesuai dengan Nabi yang pakai sorban. Bisa jadi
lho Kang San, orang yang berjubah dan bersorban itu tidak meniru Nabi.” Jawaban
Kang Mus semakin membuat Kang San bingung.
”Lantas niru siapa Kang Mus..?”, tanya Kang San penasaran.
“Ya niru Abu Jahal”, jawab Kang Mus singkat.
“Aku semakin bingung Kang Mus, kok bisa,..?”
“Ya bisa. Sebab begini Kang San, orang yang berjubah dan bersorban
kemudian meneriakkan nama Allah lantas mengacung-ngacungkan senjata, menghina
orang, menuduh orang kafir, bertindak anarkis itukan mirip Abu Jahal. Kesan yang
ditimbulkan bukannya seperti Nabi yang membawa kedamaian, justru membawa kerisauan
dan ketakutan dimana-mana”, jelas Kang Mus dengan senyum yang khas.
“Lantas...bagaimana berbusana yang seharusnya Kang,..?”, tanya Kang
San kurang puas.
“Begini, memakai jubah dan sorban merupakan sunnah Nabi yang tidak
harus kita tiru. Sebab apa yang dipakai Nabi merupakan tampilan dari budaya
Nabi, Nabi berpakaian sesuai dengan local wisdom bangsa Arab. Buktinya
Abu Jahal juga memakai pakaian yang sama dengan Nabi. Saya yakin seandainya Nabi
turunnya bukan di Arab, misalkan di jawa, pastilah Nabi akan menggunakan
blankon, berbaju batik dan memakai sarung. Berbusana itu terserah yang penting
tidak melanggar aturan agama dan aturan yang berlaku di masyarakat.”, jelas
Kang Mus.
Kang San pun manggut-manggut dan senyum-seyum tertanda puas dengan
penjelasan yang diberikan oleh Kang Mus.
Wallaahu
a’lam bisshowaab. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar