Rabu, 25 Februari 2015

Jubah ala Nabi Muhammad atau Abu Jahal?



Jubah ala Nabi Muhammad atau Abu Jahal?
Oleh:
Itsnaatul Lathifah

Setiap malam Rabu Kang Mus (panggilan akrab Kang Musthofa) mendapat bagian jaga di pos ronda samping warung kopi milik Pak No. Biasanya, banyak warga kampung yang nongkrong di pos ronda sembari ngopi di warung kopi itu. Banyak yang dibicarakan di sana, mulai dari sapi Pak Men yang habis lahiran, ustad yang nginjak kepala, KPK yang sita sana-sini sampai konflik Rusia-Ukraina. Di kampung itu, pos ronda memang memiliki peranan penting sebagai media bersosialisasi antarwarga, sekedar beramah tamah atau membahas hal-hal yang menyangkut eksistensi mereka.
Di kala Kang Mus jaga, pos ronda itu semakin penuh dengan warga. Memang Kang Mus terkenal dengan sifatnya yag ramah serta keilmuan yang luas bak samudera. Meski dalam kesibukan yang luar biasa, Kang Mus selalu meluangkan waktu untuk agenda rondanya di malam Rabu.
Malam itu pembicaraan antara Kang Mus dengan warga diawali dengan celetukan Kang San (panggilan akrab Kang Hasan) di tengah-tengah keriuhan pos ronda.
“Kang Mus, ayo kita bahas soal tata krama berbusana”, pinta Kang San bersemangat.
“Pie? Apa yang mau dibahas?”, respon Kang Mus sembari menikmati singkong goreng yang menjadi suguhan wajib di pos ronda.
“Kang, menurut panjenengan berbusana yang baik ala Islam itu apa?”
“Lha menurutmu apa Kang San?” Bukannya menjawab, Kang Mus justru bertanya balik dengan Kang San. Memang begitulah metode Kang Mus dalam mendidik warganya, selalu menjelaskan sesuatu yang diawali dengan pertanyaan. Biar tidak terkesan menggurui, metode seperti ini juga efektif  untuk mempertajam pemikiran warganya, agar selalu berpikir logis dan kritis.
“Begini Kang Mus, saya beranggapan berbusana yang baik ya seperti kanjeng Nabi, pakai  jubah juga sorban.” Jawab Kang San singkat.
“Lantas, mengapa Kang San tidak memakai busana demikian ?” Kang Mus merespon Kang San dengan pertanyaan lagi.
“Saya bingung Kang Mus. Kata orang-orang berbusana yang baik ya...pakai jubah dan sorban seperti kanjeng Nabi, tapi Kang Mus kok berbusananya tidak demikian? Lha saya kan niru kang mus.” Memang begitulah Kang San, pemuda polos yang banyak tanya dan selalu manut dengan Kang Mus.
“Hahaha...” Gelegar tawa Kang Mus dan para warga yang dari tadi menyimak jawaban Kang San.
“Begini Kang San, berbusana itu yang penting tidak menyalahi aturan agama, toh bukan berarti harus sesuai dengan Nabi yang pakai sorban. Bisa jadi lho Kang San, orang yang berjubah dan bersorban itu tidak meniru Nabi.” Jawaban Kang Mus semakin membuat Kang San bingung.
”Lantas niru siapa Kang Mus..?”, tanya Kang San penasaran.
“Ya niru Abu Jahal”, jawab Kang Mus singkat.
“Aku semakin bingung Kang Mus, kok bisa,..?” 
“Ya bisa. Sebab begini Kang San, orang yang berjubah dan bersorban kemudian meneriakkan nama Allah lantas mengacung-ngacungkan senjata, menghina orang, menuduh orang kafir, bertindak anarkis itukan mirip Abu Jahal. Kesan yang ditimbulkan bukannya seperti Nabi yang membawa kedamaian, justru membawa kerisauan dan ketakutan dimana-mana”, jelas Kang Mus dengan senyum yang khas.
“Lantas...bagaimana berbusana yang seharusnya Kang,..?”, tanya Kang San kurang puas.
“Begini, memakai jubah dan sorban merupakan sunnah Nabi yang tidak harus kita tiru. Sebab apa yang dipakai Nabi merupakan tampilan dari budaya Nabi, Nabi berpakaian sesuai dengan local wisdom bangsa Arab. Buktinya Abu Jahal juga memakai pakaian yang sama dengan Nabi. Saya yakin seandainya Nabi turunnya bukan di Arab, misalkan di jawa, pastilah Nabi akan menggunakan blankon, berbaju batik dan memakai sarung. Berbusana itu terserah yang penting tidak melanggar aturan agama dan aturan yang berlaku di masyarakat.”, jelas Kang Mus.
Kang San pun manggut-manggut dan senyum-seyum tertanda puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Kang Mus.

Wallaahu a’lam bisshowaab. . .

SEBUAH TITIK TEMU



HAK ASASI MANUSIA : Sebuah Titik Temu
Oleh:
Itsnaatul Lathifah

Hak Asasi Manusia merupakan suatu gagasan ide tentang kesepakatan terkait hak-hak dasar yang dimiliki manusia. Hanya karena ia manusia, tanpa ada satupun yang membatasinya, status sosial, ekonomi maupun agama. Meski perdebatan tak pernah usai, sesungguhnya HAM hanya ingin membawa kita pada suatu kesepakatan tunggal yang secara murni dilandaskan pada sebuah nilai. Nilai yang mutlak adanya di setiap insan yang terlahir di dunia. Bukan lagi melihat pada status-status yang disandangnya.
Bukan dalam rangka untuk menjadikan HAM sebagai agama baru, tetapi konsensus atas nama HAM itu penting untuk kemaslahatan bersama. Kita tidak pernah bisa sepakat atas nama agama. Setiap agama di dunia ini ingin diakui sama-sama benarnya. Tetapi manusia ingin hal lain, baginya agamanyalah yang nomer satu dan paling benar. Saya geli ketika seorang teman ala konservatif dan banyak orang yang setipe dengan teman saya menyebut HAM sebagai agama baru. Bagi saya HAM tidak membatasi agama manapun dalam ruang gerak manusia. Tetapi agama memiliki sifat mengkotak-kotakkan. Selalu ada sekat yang saling membatasi antar agama. Jangankan agama yang berbeda, agama yang samapun banyak hal yang tidak bisa disepakati.
Saya teringat dengan Mr. Moo seorang Budhis dari Thailand. Suatu sore, saya dan teman-teman sedang mengikuti bincang-bincang antara Mr. Moo dan Mas Hairus Salim. Panjang lebar perdebatan sore itu saya simpulkan bahwa jika kita mencari titik temu semua persoalan ataupun konflik antar umat manusia maka kita akan bertemu pada bingkai humanity. Konkritnya begini,  ketika saya melihat orang-orang Palestina diserang oleh Israel, saya merasa simpati dan empati terhadap korban, bukan karena mereka muslim tetapi saya merasa sedih sekali ketika saya membayangkan jika saya menjadi mereka. Dalam hal ini saya berusaha membangun Sense Humanity, bukan lagi memandang pada agama korban. Hal ini penting saya tuliskan sebab, di tengah kecenderungan masyarakat Indonesia yang mudah simpati dan empati terhadap suatu isu hanya berdasarkan pada kesamaan agama meski di negeri nan jauh disana dan abai terhadap saudara sebangsa yang mengalami persoalan yang sama, terampas, teraniyaya dan tergusur.
Perbedaan memang fitrah yang telah dikehendaki oleh Tuhan, keyakinan umat manusia sengaja diciptakan secara beragam. Sejauh pengamatan penulis, membenarkan salah satu agama dalam kebenaran kolektif atau kebenaran yang dianut mayoritas adalah hal kurang tepat, kenapa? Karena agama adalah suatu keyakinan yang diyakini oleh masing-masing individu, sedangkan individu dengan individu yang lainnya bisa jadi berbeda paham meski dalam agama yang sama. Masing-masing tidak butuh pembenaran atas kepercayaannya, yang terpenting adalah keyakinan total atas agama pilihannya. Agama bukan lagi urusan manusia dengan manusia, ini adalah hubungan antara manusia dengan tuhannya. Atas dasar ini legitimasi dari siapapun tidak ada pengaruhnya dengan keyakinan hati.
Demikian menunjukkan bahwa agama bukanlah hal yang universal. Dalam posisi tertentu kita memang harus mengesampingkan agama, misalkan dalam ranah publik HAM harus dikedepankan dari pada agama. Namun dalam kondisi lain dan berkaitan dengan personal individu agama akan dimenangkan ketimbang HAM selama tidak bersangkut paut dengan hak orang lain (publik).
Agama dan HAM memiliki cita-cita yang sama, Keduanya memiliki misi kebaikan untuk manusia. Lahirnya HAM tidak terlepas dari kondisi pergolakan bangsa barat. Sejarah panjang HAM di berbagai belahan dunia memiliki orientasi yang berbeda-beda. Ada yang murni karena kemanusiaan seperti yang terjadi pasca perang dunia, Palang Merah Inetrnasional (ICRC) bergerak murni atas panggilan kemanusiaan bukan kepentingan. Ada pula yang menjadikan HAM sebagai kambing hitam atas kepentingan terselubung, semisal campurtangan Amerika di negara Timur Tengah yang mengatasnamakan HAM. Citra HAM yang demikian membuat beberapa orang menjadi anti pati terhadap HAM, apalagi melihat kenyataan implementasi HAM di Barat hari ini yang mengusung tinggi arti kebebasan seluas-luasnya dan mengesampingkan agama.
Maklum jika bangsa barat bersikap demikian, negara yang mereka usung sebagai negara sekuler berimplikasi pada menyusutnya peran agama pada negara. Jadi wajar saja kebebasan menjadi hal yang vital disana. Lantas haruskah kita menolak atau menerima HAM? Menolak HAM atas dasar kepicikan pikiran seperti anggapan beberapa orang yang dengan serta merta menolak segala hal yang berbau-bau barat tanpa melihat sisi positifnya adalah hal yang kurang bijaksana. Tetapi menerima konsep HAM secara utuh tanpa adanya modifikasi juga kurang tepat.
Semisal, kebebasan adalah salah satu ide yang ditawarkan oleh HAM. Jika kita kaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an, kita tidak bisa menerima konsep kebebasan yang ditawarkan oleh HAM secara mentah-mentah. Di Indonesia, kebebasan bukan hal mutlak, masih ada koridor yang membatasi ruang gerak kita. Sebab ada filter yang sangat dijunjung tinggi bangsa Indonesia yakni Pancasila. Butir-butir yang ada di Pancasila jelas menunjukkan kita jauh berbeda dengan barat. Butir kemanusiaan berada pada urutan kedua setelah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwasannya kemanusiaan tingkatannya lebih rendah dari butir Ketuhanan. Artinya, HAM dibatasi oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai nilai tertinggi bangsa ini harus dilestarikan. Koeksistensi damai yang berhasil diusung di tengah multikultural dan multidimensi Indonesia adalah berkat Pancasila juga.
Jika hari ini kita masih berdebat seputar konsep HAM, menerima ataukah menolak? Celakalah kita sebagai bangsa. Perdebatan bukan lagi pada tataran konsep tetapi lebih ke arah bagaimana implementasi HAM di negeri ini. Bagaimana kita menagawal tegaknya HAM,  bagaimana hak-hak kemanusiaan terjamin. Demikian perlu adanya dinamisasai antara agama, HAM dan nilai ke-Indonesia-an. Bagaimana kita menambal kekurangan dari ketiganya dengan menyulam kelebihan dari ketiganya, jadi saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya dengan tidak menebus batas-batas yang digariskan yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
Wallaahu a’lam bisshowaab. . .  

Minggu, 22 Februari 2015

QONA'AH, BERSYUKUR DAN MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN



RANGKUMAN HADITS NO. 376, 377 & 378
(مختار الأحاديث النبوية)

Dipresentasikan pada hari Ahad, 22 Februari 2015

بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits No. 376
Oleh: Nur’aini Salimah

Terjemah:
Menunggu kelapangan dari Allah itu merupakan ibadah. Dan barangsiapa yang rela dengan sedikitnya rezeki, maka Allah pun ridho dengan sedikitnya ‘amal orang tersebut.
(HR. Ibn Abi ad-Dunya)

Penjelasan Hadits:
Inti dari hadist ini menerangkan tentang Qona’ah, yaitu menerima apa adanya tanpa mengharap lebih. Jadi barangsiapa yang menginginkan sesuatu, tetapi sesuatu tersebut belum dikabulkan oleh Allah, maka orang tersebut mau tidak mau harus menunggu. Dan apabila orang tersebut menunggunya dengan sabar, ikhlas, maka masa menunggunya itu termasuk pahala dan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Meskipun amal orang tersebut sedikit, tetapi Allah tetap ridho.
Contohnya yaitu seorang penjual bubur (tukang bubur) menginginkan sesuatu yaitu naik haji, tetapi Allah belum mengabulkan keinginan tukang bubur tersebut, maka orang tersebut harus menunggu keinginannya dikabulkan oleh Allah SWT dengan sabar dan ikhlas. Maka Allah akan memberikan pahala untuk orang tersebut, meskipun kalau dilihat dari segi amalnya sedikit, tetapi Allah akan tetap ridho dengan amal orang tersebut.


Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan dalam QS. Yusuf ayat 87:
“Wahai anak-anakku!!! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggunya yang berputus asa dari rahmat Allah hanya orang-orang kafir.”

Dalam hadist lain juga dijelaskan dari Abdillah bin Amr:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Sungguh beruntung orang yang beragama islam dan dicukupi rizkinya kemudian merasa cukup dengan apa yang di berikan Allah kepadanya.”
(HR Muslim)

Tambahan:
1.      Hadits ini cakupan luasnya menerangkan tentang penerimaan terhadap qodlo dan qadar Allah dengan sabar.
2.      Menunggu adalah termasuk ibadah, terkandung nilai ibadah jika dijalani dengan sabar dan ikhlas. Orang miskin tidaklah masalah, kecuali jika ia tidak menerima kemiskinannya dengan lapang dada (sabar dan ikhlas). Orang miskin yang sabar sama tingkatannya dengan orang kaya yang mensyukuri kekayaannya dengan berbagi kepada sesama.
3.      Cara untuk bersabar yaitu dengan tidak bengok-bengok, mengeluh, kegalauan dibeber-beberkan, dan segala dibicarakan/diungkapkan kepada orang lain. Melainkan menggunakan masa menunggu itu dengan melakukan hal positif serta produktif.
4.      Pelajaran inti dari hadits diatas terkandung bagian di dalamnya yaitu:
a.       Qona’ah, yaitu menerima apa yang telah diberikan/dianugerahkan. Dan ini berlaku untuk semua orang tidak hanya orang miskin ataupun orang kaya. Orang kaya yang qona’ah yaitu ia yang tidak rakus/ngoyo terhadap harta.

Terdapat empat hal yang menjadikan agama dan atau negara menjadi tegak (tidak goyah/pincang), yaitu: 1) Orang pintar yang mengamalkan ilmunya, 2) Orang bodoh yang mau belajar, 3) Orang kaya yang berderma, 4) Orang miskin yang sabar. Jika keempat hal tersebut semuanya kompak atau sinergi, maka akan menjadikan agama dan atau negara menjadi tegak.

Jika kita ridlo atau menerima apa yang telah diberikan, maka akan enak, nyaman dan tenang dalam menjalani kehidupan ini.

Salah satu contoh mengapa saat ini orang bodoh tetap eksis dengan kebodohannya yaitu kemungkinan keengganan orang pintar untuk mengamalkan dan menyampaikan ilmunya dengan ikhlas. Sehingga tidak ada lagi yang mau, akhirnya orang bodohlah yang berperan. Hal ini merupakan kritik pedas, sebagai introspeksi dan mengandung tanggungjawab kita sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu, yang berusaha untuk menghilangkan kebodohan.
b.      Amal itu yang terpenting adalah diterima oleh Allah SWT meskipun sedikit.
Jangan sampai ada pemahaman yang keliru tentang hal itu. Sedikit perbaikan dari penjelasan hadits diatas bahwa seorang tukang bubur bukan berarti ia memiliki amalan yang sedikit dibandingkan seorang kyai. Karena yang terpenting adalah keikhlasannya, bagaimana ia meracik, mengolah bubur dengan baik dan melayani pembeli dengan adil maka mungkin saja tukang bubur tersebut lebih baik derajatnya dalam pandangan Allah SWT.
5.      Jika kita menerapkan standar tinggi pada diri kita, maka Allah pun akan menerapkannya pada kita. Dengan kata lain, contohnya jika kita menginginkan barang yang bermerk (branded), maka seyogyanya kualitas ibadah kitapun harus tinggi standarnya.

Hadits No. 377
Oleh: Nur Asiyah

Hadits dan Terjemah:
انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau lihat orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”
(HR. Imam Ibn Maajah)

Penjelasan Hadits:
Sering terbersit dalam benak kita sebuah tanya, mengapa setiap kali melihat orang yang diberi kelebihan oleh Allah dari sisi materi, dada kita menjadi sesak, jiwa kita lelah, ada hasrat untuk memiliki apa yang mereka miliki. Tak jarang hasrat itu membuat nikmat yang ada dalam genggaman seolah tak ada artinya. Jawabannya, karena kita lalai dalam mengamalkan wasiat Rasulullah shallahu alaihi wasallam.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
“Jika salah seorang diantara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.”
 (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua hadits di atas mengandung pelajaran penting untuk setiap muslim agar mereka selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia. Karena melihat ke atas hanya akan membuat diri berkeluh kesah, dada menjadi sesak, pikiran menjadi kalut, hati menjadi lelah memikirkan dunia yang seolah berpihak pada orang lain. Dan pada akhirnya diri inipun lalai mensyukuri karunia Allah yang ada.
Namun bila kita melihat ke bawah, kita akan tau bahwa ada orang lain yang hidupnya jauh lebih sulit dari kita, sehingga hati terpanggil untuk mensyukuri berbagai karunia itu. Sudah selayaknya bagi seorang mukmin untuk tidak menolehkan pandangannya kepada ahli dunia, karena hal itu hanya akan menumbuhkan kekaguman yang selalu berakhir dengan jiwa yang lelah..
Allah azza wajalla berfirman:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Artinya:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Thaa Haa: 131)

Berhentilah menatap dan mengharap kemegahan dunia yang ada pada orang lain, syukuri apa yang ada. Agar kita menjadi hamba yang qanaah. Ingat! Ini bukan soal banyak atau sedikit, tapi murni soal keberkahan.
Itu dalam perkara dunia, adapun dalam perkara agama/akhirat yang berlaku adalah sebaliknya. Seorang muslim diperintahkan untuk selalu melihat ke atas, kepada orang yang lebih baik darinya dalam hal ketaqwaan, amal sholeh dan ketaatan lainnya. Agar semangatnya terpacu untuk terus mempersembahkan amal terbaik disisa waktu yang ada.

Tambahan:
1.      Hadits diatas merupakan termasuk hadits populer, yang mengingatkan tentang bagian dari ajaran sabar, syukur dan qona’ah.
2.      Memberi satu alasan mengapa kita harus melihat ke bawah? Yakni agar kita senantiasa tidak meremehkan nikmat yang ada dan itu akan mengantarkan kita agar menjadi pribadi yang mudah bersyukur.
3.      Sesuatu yang penting bahwa yang menjadi kebanggaan bukanlah hal yang berbau duniawi melainkan ketaqwaan (اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَى كُمْ)

Hadits No. 378
Terjemah:
“Tolonglah saudaramu dalam keadaan didholimi atau dalam keadaan berlaku dholim. Nabi ditanya: “Bagaimana aku menolong terhadap orang yang berlaku dholim?” Nabi menjawab: “Yaitu dengan cara engkau menghalanginya dan mengembalikannya (mencegah/mengingatkan) agar tidak berlaku dholim lagi.”
(HR. Imam Bukhari)

Penjelasan Hadits:
Hadits diatas merupakan ungkapan orang Arab Jahiliyah (unshur akhooka). Karena orang Arab Jahiliyah terkenal karena persaudaraannya, kesukuannya, dan itulah yang menyebabkannya ia menjadi fanatisme buta (al ‘ashobiyyah). Sehingga membela orang lain bukanlah atas dasar prinsip kebenaran dan keadilan melainkan karena kesukuan, persaudaraan dan kekeluargaan. Jadi jika saat ini terdapat orang yang fanatik (fanatisme) dalam hal apapun maka sama saja seperti orang Arab Jahiliyah. Ungkapan yang dikatakan oleh Kenedy tentang fanatisme yaitu “Right or wrong is my country.”
Sebutan Jahiliyah sebenarnya bukan berarti kaum tersebut bodoh, tetapi ia pethuk, yaitu ia tahu mana yang benar tetapi enggan untuk menjalankan/melakukannya. Dari aspek intelektual, mereka adalah orang yang cerdas. Hal itu dibuktikan dengan tradisinya yang suka membuat bait-bait sya’ir yang indah, menghafal nama-nama nenek moyang mereka 15-20 keturunan keatas, dan juga hafal sejarah nenek moyang mereka.
Berdasarkan hadits diatas terlihat betapa luar biasanya Rasulullah SAW. Beliau menggunakan ungkapan yang sama (tetap melestarikan tradisi Arab Jahiliyah) tetapi maknanya sungguh berbeda. Konsep Islam yaitu menjunjung tinggi kebenaran, bukan karena sebab kekeluargaan, persaudaraan atau kesukuan.
Secara konsep yang lebih luas yaitu tentang Nasionalisme (hubbul wathon). Nasionalisme dibolehkan, tetapi yang mendukung ajaran Islam dan tidak bertentangan dengannya. Yaitu yang paling penting menjaga misi keagamaan itu sendiri. Sejarah menceritakan tentang peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Ketika Mekkah sudah tidak aman dan masyarakatnya sudah membangkang, enggan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah, beliau pindah/hijrah ke Madinah. Padahal  Mekkah adalah tanah kelahiran Nabi Muhammad yang beliau cintai. Rasulullah pun berkata jika saja putriku, Sayyidah Fathimah mencuri, maka beliau sendiri yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jadilah wanita yang kuat, yang  menjunjung tinggi dan membela kebenaran seperti ajaran Rasulullah SAW.
Saat ini terlihat adanya krisis kepemimpinan disebabkan pemimpin melaksanakan tugas kepemimpinannya untuk melindungi keluarganya, tidak menegakkan prinsip kebenaran walaupun mereka berbuat salah.

Wallaahu a’lam bis showaab. . .