Selasa, 30 Desember 2014

TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM)



PEREMPUAN DAN CALON SUAMI
Mengkaji Ulang Peran Wali Mujbir Terhadap Perkawinan Anak Perempuan

OLEH:
       
MAYLISSABET


1.    Pendahuluan
Mengkaji ulang peran wali mujbir yang dapat memaksa perkawinan anak perempuan, sangat dibutuhkan untuk kehidupan masa kini. Perempuan pada dasarnya juga dapat memilih calon suami, seperti layaknya laki-laki yang dapat memilih calon isteri. Pemilihan calon suami maupun isteri untuk menciptakan kenyamanan dalam keluarga, karena perkawinan merupakan ikatan yang kokoh, maka butuh kecocokan antara keduanya untuk menjalani sebuah perkawinan. Unsur paksaan seharusnya tidak ada dalam perkawinan, agar pernikahan penuh dengan rasa kasih dan sayang, sehingga tercipta keluarga yang sakinah.
Mayoritas Ulama-ulama fiqh dalam beberapa karyanya berpendapat, bahwa wali berhak memaksakan anak yang di bawah perwaliannya untuk dinikahkan. Wali tersebut biasa dikenal dengan wali mujbir. Wali mujbir lah yang berhak menentukan dan dapat memaksa anak perempuannya untuk melakukan perkawinan. Pendapat seperti di atas, memang tidak disetujui secara mutlak oleh seluruh kalangan Ulama. Ada juga sebagian Ulama yang kurang setuju apabila wali tidak berhak memaksa anak perempuannya untuk dinikahkan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, seperti Imam Abu Hanifah.
Perilaku seperti di atas sebenarnya menunjukkan sedikit diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan yang akan menjalani sebuah perkawinan, justru sama sekali tidak diberikan celah untuk dimintai persetujuan, bahkan dipaksa melakukan perkawinan sesuai dengan keinginan walinya. Islam sendiri mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kaumnya, baik laki-laki maupun perempuan, jadi seharusnya dalam memilih calon pasangan hidup pun tidak terdapat perbedaan antara keduanya.
Dari fenomena di atas, maka penulis ingin memaparkan bagaimana sebenarnya sikap yang harus dilakukan masyarakat terkait pemilihan pasangan oleh perempuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada saat ini, agar tidak lagi ada diskriminasi bagi para pihak-pihak tertentu, terutama perempuan.

2.    Hak Wali Mujbir Dalam Fiqh
Dari keempat madzhab yang sering dijadikan rujukan dalam hukum Islam, maka madzhab Hanafilah, yang satu-satunya mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai perempuan secara mutlak. Madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbaliyah tetap mengakui hak ijbar wali dengan berbagai variasi pendapatnya.[1]
Madzhab Maliki berpendapat bahwa kebebasan perempuan untuk memilih pasangan dibedakan antara gadis dan janda. Janda yang akan dinikahkan lagi, harus ada persetujuan terlebih dahulu dari pihak yang bersangkutan sebelum akad dilangsungkan. Berbeda dengan perempuan yang masih gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suaminya, maka bapak sebagai wali berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah. Orang yang boleh memaksa perempuan untuk menikah hanyalah bapak kepada anak gadisnya dan kepada anak laki-laki kecil, tuan terhadap hambanya (yang masih kecil) dan wali terhadap anak yatim.[2]
Menurut Abu Hanifah, persetujuan perempuan gadis maupun janda, harus ada sebelum melaksanakan pernikahan. Apabila gadis atau janda tidak menyetujui, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan, meskipun dipaksa oleh bapak sekalipun. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan: pertama, kasus pada masa Nabi, yakni Nabi menolak pernikahan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena sang calon tidak menyetujui. Kedua, hadis Nabi yang mengatakan bahwa seorang wali dapat menikahkan gadis dengan syarat gadis tersebut menyetujui pernikahan tersebut, yang tanda persetujuannya adalah diam.[3]
Imam syafi’i mengklasifikasikan menjadi tiga kelompok terkait persetujuan perempuan dalam menikah. Pertama, gadis yang belum dewasa (kurang dari 15), maka bapak boleh menikahkan tanpa seizinnya lebih dahulu tanpa merugikan anak. gadis yng dinikahkan, berhak memilih untuk meneruskan perkawinan atau bercerai saat dewasa. Kedua, gadis dewasa. Ada hak berimbang antara bapak dengan anak gadis dewasa, akan tetapi bapak tetap memiliki hak yang lebih dibanding anak gadisnya. Ketiga, janda. Janda yang akan dinikahkan, maka harus ada izin tegas dari janda tersebut.[4]
Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali berpendapat bahwa wali berhak untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, meskipun yang bersangkutan tidak senang. Pendapat Ibnu Qudamah didasarkan pada tindakan Nabi yang menikahi ‘Aishah ketika masih berumur tujuh tahun dan mengadakan hubungan seksual pada umur sembilan tahun.
Pendapat para madzhab di atas menunjukkan, bahwa pendapat mereka masih kental dengan kelaki-lakiannya, yakni perempuan masih dianggap sebagai orang kedua, yang pendapatnya masih jarang dihiraukan. Hal ini dikarenakan pada zaman mereka masih terpengaruh sistem keluarga yang patrilineal, yakni laki-laki lah yang memiliki kekuasaan lebih di dalam sebuah keluarga. Sistem patrilineal ini seharusnya tidak lagi diterapkan untuk saat ini, karena Nabi Muhammad datang dengan agama Islam untuk mengangkat derajat perempuan, dan untuk menyeimbangkan antara laki-laki dan perempuan, yang sebelumnya perempuan selalu menjadi objek yang dapat dikuasai sesuka hati laki-laki. Sama halnya dengan bolehnya memaksa anak perempuan untuk menikah, maka seharusnya hal ini tidak lagi terjadi, karena hal itu sama saja mendiskriminasi perempuan dalam hal pernikahan.

3.    Hak Memilih Pasangan Hidup Bagi Anak Perempuan Dalam Perundang-Undangan
Di dalam deklarasi HAM tahun 1948, Pasal 16, ayat (1) mengatakan bahwa:

“Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. ayat (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai”.

Aturan di atas menunjukkan, bahwa antara laki-laki dan perempuan sama-sama dapat memilih pasangan hidupnya, tanpa ada unsur pemaksaan dari siapapun terutama wali. Yang berhak menentukan hanyalah perempuan yang bersangkutan. Hal ini juga didukung di dalam pasal 19 deklarasi HAM tahun 1948, bahwa:

“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Bertambah jelas lah, bahwa aturan di negara ini sebenarnya tidak mengakui nikah paksa oleh wali terhadap anak perempuannya. Hal senada juga dipaparkan di dalam CEDAW (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) pasal 16 ayat 1, dikatakan bahwa:
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin: (a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan; (b) Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya.

Tidak berhenti di dalam aturan di atas, yakni deklarasi HAM dan CEDAW, di dalam UU No 1 tentang perkawinan pasal 6 juga mencerminkan maksud untuk mengangkat derajat perempuan, bahwa :
“Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”
Tidak boleh ada unsur pemaksaan dalam perkawinan, karena perkawinan berbicara masalah perasaan yang tidak mudah dipaksakan. Butuh waktu lama untuk menyatukan dua hati yang tidak saling mengenal atau bahkan saling tidak suka. Jika hati yang sama-sama tidak cocok ini tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu seketika, maka kemungkinan untuk memberikan efek yang kurang baik terhadap jalannya pernikahan akan lebih terbuka, dan yang paling fatal akan menyebabkan perceraian.
Dari pemaparan aturan-aturan di atas dapat dilihat, bahwa perundang-undangan yang telah dipaparkan di atas sebenarnya telah mengadopsi nilai Islam secara benar, yakni ingin mengangkat derajat perempaun dengan cara memberikan kebebasan bagi para perempuan untuk menentukan calon suami.

4.    Hak Memilih Pasangan Hidup Bagi Anak Perempuan
Hak ijbar yang diyakini oleh para madzhab klasik terkesan mengandung diskriminasi terhadap pihak perempuan. Unsur diskriminasi tersebut karena wali yang memiliki hak ijbar semata-mata hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa memberikan peluang kepada perempuan untuk mengemukakan pendapatnya. Jika melihat hakikat dari perkawinan, bahwa pada dasarnya prinsip dari sebuah perkawinan adalah pertemuan dua hati antara laki-laki dan perempuan yang pada mulanya tidak saling mengenal. Hal ini tidak lain karena Islam ingin menjunjung tinggi dan menghormati perempuan (dalam menentukan pasangan hidupnya). Salah satu buktinya adalah Sabda Rasulullah SAW:
لا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا يا رسول الله كيف إذنها؟ قال ان تسكت.
“Hadis Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim”
Bahwa ketika seorang seorang perawan akan dinikahkan oleh walinya, maka seharusnya dimintai ijinnya terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya di dalam Islam tidak membenarkan adanya pemaksaan perkawinan oleh wali mujbir terhadap anak perempuan yang ada di bawah kekuasaannya. Dalam hadis di atas, ditunjukkan bahwa tanda dari persetujuan perempuan adalah diamnya, hal ini dikarenakan perempuan yang masih gadis memiliki perasaan malu yang lebih besar daripada seorang janda. Oleh karena itu, ketika gadis yang akan dinikahkan tidak menunjukkan tanda-tanda keengganan terhadap calon suaminya, maka gadis tersebut dianggap setuju.[5]
 Beberapa tahun yang lalu, tidak sedikit perempuan yang menjadi korban dari pernikahan paksa oleh walinya. Akibat dari tindakan tersebut, banyak yang justru hidupnya merana karena pernikahan yang terpaksa tersebut. Mereka cenderung menghindari perceraian, karena perceraian merupakan sesuatu yang sangat hina pada zaman dulu, sehingga mereka lebih memilih hidup merana akan tetapi tidak dicerai, dari pada harus dicemooh oleh banyak orang karena perceraian. Para wali yang melakukan tindakan di atas, tidak lain berlindung terhadap fatwa Ulama yang mengatakan bolehnya bapak memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya sekalipun, bahkan kadang-kadang sangat dibenci.[6]
Petunjuk Islam yang diajarkan Nabi sebenarnya memberikan hak veto kepada gadis-gadis yang mengalami pernikahan paksa dengan orang yang tidak disukai. Bahkan dengan tegas Nabi bersabda:”janganlah dinikahkan anak gadis sebelum dimintakan izinnya”. Jadi permintaan izin yang diperintahkan oleh Nabi agar wali meminta izin terlebih dahulu kepada anak gadisnya, bukanlah semat-mata formalitas dari bapak agar boleh bertindak sesukanya sendiri dengan tanpa menghiraukan izin dari gadis yang bersangkutan.[7] Yang ditekankan dalam hadis tersebut adalah keikhlasan hati perempuan untuk melangsungkan pernikahan dan hal ini harus benar-benar diperhatikan oleh wali, demi kebahagiaan pernikahan sang anak.
Manusia sebagai generasi yang hidup di zaman yang semakin maju, sebisa mungkin mampu menerapkan hukum sesuai dengan kebutuhan pada saat ini. Aturan-aturan hukum yang telah ada sebelumnya, tidak dapat diterapkan secara langsung di saat ini, karena konteks dan kondisi masyarakat telah berubah, sehingga aturan pun harus selalu dapat mengimbangi kondisi saat ini, agar aturan tidak terkesan kaku. Seperti halnya aturan hak ijbar, maka aturan tersebut tidak lagi dapat diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini, karena justru akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar daripada manfaatnya.

5.    Paksaan Orang Tua Terhadap Anak Perempuan Dalam Menentukan Suami Di Masa Kini
Perkawinan merupakan ikatan yang sangat kokoh, karena kekokohannya, Allah menyebutkan bahwa perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian. Ini membuktikan bahwa perkawinan harus dijaga keharmonisannya, kebahagiannya, agar keluarga tidak harus dipisahkan dengan jalan perceraian. Untuk memulai agar perkawinan ini dapat dirasa sebagai sesuatu yang nyaman, penuh kasih dan sayang, maka seharusnya perkawinan tidak didasari atas paksaan siapapun termasuk wali, akan tetapi harus berdasarkan hati orang yang akan menjalaninya, terutama perempuan yang seringkali haknya untuk memilih suami terabaikan di dalam keluarga.
Memilihkan calon suami untuk anak perempuan memang tidak dilarang di dalam Islam, akan tetapi tidak dengan cara memaksa anak perempuan untuk menikah sesuai dengan keinginan wali. Perkawinan seharusnya didasari atas keinginan hati yang tulus dan ikhlas antara kedua mempelai. Meskipun demikian, tidak kemudian menghilangkan peran wali sama sekali di dalam menentukan suami. solusi dari hal ini adalah musyawarah. Musyawarah harus selalu ada dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, mulai dari urusan yang terkecil hingga urusan yang terbesar, seperti menentukan calon suami anak perempuan.
Wali tetap berhak untuk menasehati, membimbing atau bahkan memberi pilihan bagi anak perempuannya. Hal ini agar anak perempuan, tidak hanya semata-mata mengedapankan emosi atau perasaan anak tersebut. Wali yang cenderung lebih berpengalaman dalam menjalani kehidupan dibanding sang anak, menjadi wajar apabila anak perempuan juga harus mendengarkan nasehat-nasehat atau pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh wali. Wali yang benar, tidak akan pernah menjerumuskan anaknya ke dalam jurang. Oleh karena itu, nasehat-nasehat dan pertimbangan dari wali sangat dibutuhkan untuk masa depan anak.
Zaman yang semakin modern ini juga tidak menutup kemungkinan untuk lebih mempermudah akses hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada lagi perbedaan pendidikan yang dapat diperoleh antara laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu semampu mereka. Hal ini menyebabkan, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kriteria-kriteria masing-masing terkait dengan calon suaminya. Laki-laki dan perempuan cenderung lebih bebas untuk menentukan pasangan hidupnya, oleh karenanya peran orang tua sangat dibutuhkan agar anak tidak salah memilih pasangan, akan tetapi sebatas untuk memberikan nasehat-nasehat dan pertimbangan-pertimbangan bukan untuk memaksakan kehendak.
Dampak dari wali yang memaksakan anak perempuannya menikah dengan orang yang  tidak diinginkan pada masa kini dapat berbuah kefatalan. Mereka bisa saja justru melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti bunuh diri, kabur dari rumah, atau bahkan justru kabur bersama calon suami yang diinginkan oleh anak perempuan tersebut. Hal ini dikarenakan, situasi dan kondisi saat ini sudah tidak dapat disamakan dengan zaman dahulu. Banyak fasilitas-fasilitas yang justru mendukung perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan seperti di atas. Konteks perempuan zaman dahulu pun tidak sama, para perempuan zaman dahulu yang mayoritas hanya dapat menyetujui perintah walinya, meskipun sebenarnya tidak menerima, akan tetapi tidak untuk perempuan masa kini. Hal ini sama sekali tidak diinginkan di dalam agama Islam, oleh karenanya musyawarah harus selalu ada dalam keluarga, agar permasalahan keluarga dapat dipecahkan secara baik-baik.

6.    Penutup
Peran wali mujbir terhadap perkawinan di masa kini adalah tidak lagi untuk memaksa sang anak melakukan pernikahan. Semangat juang Nabi Muhammad untuk mengangkat derajat perempuan sudah selayaknya selalu diterapkan dalam kehidupan sampai saat ini. Hal ini harus dilakukan sejak dari awal membentuk keluarga. Kebiasaan yang harus diciptakan dalam keluarga yang ingin bahagia adalah musyawarah. Musyawarah dalam setiap permasalahan, mulai dari yang paling sepele hingga yang paling penting dalam keluarga, seperti menentukan pasangan hidup untuk anak. Musyawarah dalam keluarga ditujukan agar masing-masing pihak dalam keluarga dapat mengeluarkan  masing-masing pendapat untuk kepentingan bersama, tanpa ada pihak yang didiskriminasi.

7.    Daftar Pustaka

Nasution, Khoiruddin Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004.
Musayyar, Sayyid Ahmad Al- Fiqih, Cinta Kasih Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, Jakarta: Erlangga, 2008.



[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004), hlm. 116.
[2] Ibid, hlm. 74.
[3] Ibid, hlm. 80-81.
[4] Ibid, hlm. 88-89.
[5] Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Fiqih Cinta Kasih Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 103-104.
[6] Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 34-35.
[7] Ibid, hlm. 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar