PEREMPUAN DAN CALON SUAMI
Mengkaji Ulang Peran Wali Mujbir
Terhadap Perkawinan Anak Perempuan
OLEH:
MAYLISSABET
1.
Pendahuluan
Mengkaji ulang peran wali mujbir
yang dapat memaksa perkawinan anak perempuan, sangat dibutuhkan untuk kehidupan
masa kini. Perempuan pada dasarnya juga dapat memilih calon suami, seperti
layaknya laki-laki yang dapat memilih calon isteri. Pemilihan calon suami
maupun isteri untuk menciptakan kenyamanan dalam keluarga, karena perkawinan
merupakan ikatan yang kokoh, maka butuh kecocokan antara keduanya untuk
menjalani sebuah perkawinan. Unsur paksaan seharusnya tidak ada dalam
perkawinan, agar pernikahan penuh dengan rasa kasih dan sayang, sehingga
tercipta keluarga yang sakinah.
Mayoritas Ulama-ulama
fiqh dalam beberapa karyanya berpendapat, bahwa wali berhak memaksakan anak
yang di bawah perwaliannya untuk dinikahkan. Wali tersebut biasa dikenal dengan
wali mujbir. Wali mujbir lah yang berhak menentukan dan dapat memaksa anak perempuannya
untuk melakukan perkawinan. Pendapat seperti di atas, memang tidak disetujui
secara mutlak oleh seluruh kalangan Ulama. Ada juga sebagian Ulama yang kurang
setuju apabila wali tidak berhak memaksa anak perempuannya untuk dinikahkan
tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, seperti Imam Abu Hanifah.
Perilaku
seperti di atas sebenarnya menunjukkan sedikit diskriminasi terhadap perempuan.
Perempuan yang akan menjalani sebuah perkawinan, justru sama sekali tidak
diberikan celah untuk dimintai persetujuan, bahkan dipaksa melakukan perkawinan
sesuai dengan keinginan walinya. Islam sendiri mengatakan bahwa tidak ada
perbedaan antara kaumnya, baik laki-laki maupun perempuan, jadi seharusnya
dalam memilih calon pasangan hidup pun tidak terdapat perbedaan antara keduanya.
Dari fenomena
di atas, maka penulis ingin memaparkan bagaimana sebenarnya sikap yang harus
dilakukan masyarakat terkait pemilihan pasangan oleh perempuan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada saat ini, agar tidak lagi ada diskriminasi bagi
para pihak-pihak tertentu, terutama perempuan.
2.
Hak
Wali Mujbir Dalam Fiqh
Dari
keempat madzhab yang sering dijadikan rujukan dalam hukum Islam, maka madzhab
Hanafilah, yang satu-satunya mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai
perempuan secara mutlak. Madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbaliyah tetap mengakui
hak ijbar wali dengan berbagai variasi pendapatnya.[1]
Madzhab
Maliki berpendapat bahwa kebebasan perempuan untuk memilih pasangan dibedakan
antara gadis dan janda. Janda yang akan dinikahkan lagi, harus ada persetujuan
terlebih dahulu dari pihak yang bersangkutan sebelum akad dilangsungkan.
Berbeda dengan perempuan yang masih gadis atau janda yang belum dewasa dan
belum dicampuri suaminya, maka bapak sebagai wali berhak memaksa anak gadisnya
untuk menikah. Orang yang boleh memaksa perempuan untuk menikah hanyalah bapak
kepada anak gadisnya dan kepada anak laki-laki kecil, tuan terhadap hambanya
(yang masih kecil) dan wali terhadap anak yatim.[2]
Menurut
Abu Hanifah, persetujuan perempuan gadis maupun janda, harus ada sebelum
melaksanakan pernikahan. Apabila gadis atau janda tidak menyetujui, maka pernikahan
tidak dapat dilangsungkan, meskipun dipaksa oleh bapak sekalipun. Hal ini
didasarkan pada beberapa alasan: pertama, kasus pada masa Nabi, yakni
Nabi menolak pernikahan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena sang
calon tidak menyetujui. Kedua, hadis Nabi yang mengatakan bahwa seorang
wali dapat menikahkan gadis dengan syarat gadis tersebut menyetujui pernikahan
tersebut, yang tanda persetujuannya adalah diam.[3]
Imam
syafi’i mengklasifikasikan menjadi tiga kelompok terkait persetujuan perempuan
dalam menikah. Pertama, gadis yang belum dewasa (kurang dari 15), maka
bapak boleh menikahkan tanpa seizinnya lebih dahulu tanpa merugikan anak. gadis
yng dinikahkan, berhak memilih untuk meneruskan perkawinan atau bercerai saat
dewasa. Kedua, gadis dewasa. Ada hak berimbang antara bapak dengan anak
gadis dewasa, akan tetapi bapak tetap memiliki hak yang lebih dibanding anak
gadisnya. Ketiga, janda. Janda yang akan dinikahkan, maka harus ada izin
tegas dari janda tersebut.[4]
Ibnu
Qudamah dari madzhab Hanbali berpendapat bahwa wali berhak untuk menikahkan
gadis yang belum dewasa, meskipun yang bersangkutan tidak senang. Pendapat Ibnu
Qudamah didasarkan pada tindakan Nabi yang menikahi ‘Aishah ketika masih
berumur tujuh tahun dan mengadakan hubungan seksual pada umur sembilan tahun.
Pendapat
para madzhab di atas menunjukkan, bahwa pendapat mereka masih kental dengan
kelaki-lakiannya, yakni perempuan masih dianggap sebagai orang kedua, yang
pendapatnya masih jarang dihiraukan. Hal ini dikarenakan pada zaman mereka masih
terpengaruh sistem keluarga yang patrilineal, yakni laki-laki lah yang memiliki
kekuasaan lebih di dalam sebuah keluarga. Sistem patrilineal ini seharusnya
tidak lagi diterapkan untuk saat ini, karena Nabi Muhammad datang dengan agama
Islam untuk mengangkat derajat perempuan, dan untuk menyeimbangkan antara
laki-laki dan perempuan, yang sebelumnya perempuan selalu menjadi objek yang
dapat dikuasai sesuka hati laki-laki. Sama halnya dengan bolehnya memaksa anak
perempuan untuk menikah, maka seharusnya hal ini tidak lagi terjadi, karena hal
itu sama saja mendiskriminasi perempuan dalam hal pernikahan.
3.
Hak
Memilih Pasangan Hidup Bagi Anak Perempuan Dalam Perundang-Undangan
Di
dalam deklarasi HAM tahun 1948, Pasal 16, ayat (1) mengatakan bahwa:
“Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan
tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan
untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan,
di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. ayat (2) Perkawinan hanya
dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua
mempelai”.
Aturan di atas menunjukkan, bahwa antara laki-laki dan perempuan
sama-sama dapat memilih pasangan hidupnya, tanpa ada unsur pemaksaan dari
siapapun terutama wali. Yang berhak menentukan hanyalah perempuan yang
bersangkutan. Hal ini juga didukung di dalam pasal 19 deklarasi
HAM tahun 1948, bahwa:
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak
memandang batas-batas”.
Bertambah jelas lah, bahwa aturan di negara ini sebenarnya tidak mengakui
nikah paksa oleh wali terhadap anak perempuannya. Hal senada juga dipaparkan di
dalam CEDAW (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination
Against Women) pasal 16 ayat 1, dikatakan bahwa:
Negara-negara
peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan
perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan, dan khususnya akan menjamin: (a) Hak yang sama untuk memasuki
jenjang perkawinan; (b) Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk
memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya.
Tidak berhenti di dalam aturan di atas,
yakni deklarasi HAM dan CEDAW, di dalam UU No 1 tentang perkawinan pasal 6 juga
mencerminkan maksud untuk mengangkat derajat perempuan, bahwa :
“Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”
Tidak boleh ada unsur pemaksaan dalam
perkawinan, karena perkawinan berbicara masalah perasaan yang tidak mudah
dipaksakan. Butuh waktu lama untuk menyatukan dua hati yang tidak saling
mengenal atau bahkan saling tidak suka. Jika hati yang sama-sama tidak cocok
ini tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu seketika, maka
kemungkinan untuk memberikan efek yang kurang baik terhadap jalannya pernikahan
akan lebih terbuka, dan yang paling fatal akan menyebabkan perceraian.
Dari pemaparan aturan-aturan di atas
dapat dilihat, bahwa perundang-undangan yang telah dipaparkan di atas
sebenarnya telah mengadopsi nilai Islam secara benar, yakni ingin mengangkat
derajat perempaun dengan cara memberikan kebebasan bagi para perempuan untuk
menentukan calon suami.
4.
Hak
Memilih Pasangan Hidup Bagi Anak Perempuan
Hak
ijbar yang diyakini oleh para madzhab klasik terkesan mengandung diskriminasi
terhadap pihak perempuan. Unsur diskriminasi tersebut karena wali yang memiliki
hak ijbar semata-mata hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa memberikan
peluang kepada perempuan untuk mengemukakan pendapatnya. Jika melihat hakikat
dari perkawinan, bahwa pada dasarnya prinsip dari sebuah perkawinan adalah pertemuan
dua hati antara laki-laki dan perempuan yang pada mulanya tidak saling
mengenal. Hal ini tidak lain karena Islam ingin menjunjung tinggi dan menghormati
perempuan (dalam menentukan pasangan hidupnya). Salah satu buktinya adalah Sabda
Rasulullah SAW:
لا تنكح البكر حتى
تستأذن قالوا يا رسول الله كيف إذنها؟ قال ان تسكت.
“Hadis Riwayat Imam
Bukhari dan Imam Muslim”
Bahwa
ketika seorang seorang perawan akan dinikahkan oleh walinya, maka seharusnya
dimintai ijinnya terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya di
dalam Islam tidak membenarkan adanya pemaksaan perkawinan oleh wali mujbir
terhadap anak perempuan yang ada di bawah kekuasaannya. Dalam hadis di atas,
ditunjukkan bahwa tanda dari persetujuan perempuan adalah diamnya, hal ini
dikarenakan perempuan yang masih gadis memiliki perasaan malu yang lebih besar
daripada seorang janda. Oleh karena itu, ketika gadis yang akan dinikahkan
tidak menunjukkan tanda-tanda keengganan terhadap calon suaminya, maka gadis
tersebut dianggap setuju.[5]
Beberapa tahun yang lalu, tidak sedikit perempuan
yang menjadi korban dari pernikahan paksa oleh walinya. Akibat dari tindakan
tersebut, banyak yang justru hidupnya merana karena pernikahan yang terpaksa
tersebut. Mereka cenderung menghindari perceraian, karena perceraian merupakan
sesuatu yang sangat hina pada zaman dulu, sehingga mereka lebih memilih hidup merana
akan tetapi tidak dicerai, dari pada harus dicemooh oleh banyak orang karena
perceraian. Para wali yang melakukan tindakan di atas, tidak lain berlindung
terhadap fatwa Ulama yang mengatakan bolehnya bapak memaksa anak gadisnya untuk
menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya sekalipun, bahkan kadang-kadang
sangat dibenci.[6]
Petunjuk
Islam yang diajarkan Nabi sebenarnya memberikan hak veto kepada
gadis-gadis yang mengalami pernikahan paksa dengan orang yang tidak disukai.
Bahkan dengan tegas Nabi bersabda:”janganlah dinikahkan anak gadis sebelum
dimintakan izinnya”. Jadi permintaan izin yang diperintahkan oleh Nabi agar
wali meminta izin terlebih dahulu kepada anak gadisnya, bukanlah semat-mata
formalitas dari bapak agar boleh bertindak sesukanya sendiri dengan tanpa
menghiraukan izin dari gadis yang bersangkutan.[7] Yang
ditekankan dalam hadis tersebut adalah keikhlasan hati perempuan untuk
melangsungkan pernikahan dan hal ini harus benar-benar diperhatikan oleh wali,
demi kebahagiaan pernikahan sang anak.
Manusia
sebagai generasi yang hidup di zaman yang semakin maju, sebisa mungkin mampu
menerapkan hukum sesuai dengan kebutuhan pada saat ini. Aturan-aturan hukum
yang telah ada sebelumnya, tidak dapat diterapkan secara langsung di saat ini,
karena konteks dan kondisi masyarakat telah berubah, sehingga aturan pun harus
selalu dapat mengimbangi kondisi saat ini, agar aturan tidak terkesan kaku.
Seperti halnya aturan hak ijbar, maka aturan tersebut tidak lagi dapat
diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini, karena justru akan menimbulkan mafsadah
yang lebih besar daripada manfaatnya.
5. Paksaan Orang Tua Terhadap Anak Perempuan
Dalam Menentukan Suami Di Masa Kini
Perkawinan merupakan ikatan yang sangat kokoh,
karena kekokohannya, Allah menyebutkan bahwa perbuatan halal yang dibenci Allah
adalah perceraian. Ini membuktikan bahwa perkawinan harus dijaga
keharmonisannya, kebahagiannya, agar keluarga tidak harus dipisahkan dengan
jalan perceraian. Untuk memulai agar perkawinan ini dapat dirasa sebagai
sesuatu yang nyaman, penuh kasih dan sayang, maka seharusnya perkawinan tidak
didasari atas paksaan siapapun termasuk wali, akan tetapi harus berdasarkan
hati orang yang akan menjalaninya, terutama perempuan yang seringkali haknya
untuk memilih suami terabaikan di dalam keluarga.
Memilihkan calon suami untuk anak perempuan memang tidak dilarang di
dalam Islam, akan tetapi tidak dengan cara memaksa anak perempuan untuk menikah
sesuai dengan keinginan wali. Perkawinan seharusnya didasari atas keinginan
hati yang tulus dan ikhlas antara kedua mempelai. Meskipun demikian, tidak
kemudian menghilangkan peran wali sama sekali di dalam menentukan suami. solusi
dari hal ini adalah musyawarah. Musyawarah harus selalu ada dalam kehidupan
sehari-hari di keluarga, mulai dari urusan yang terkecil hingga urusan yang terbesar,
seperti menentukan calon suami anak perempuan.
Wali tetap berhak untuk menasehati, membimbing atau bahkan memberi
pilihan bagi anak perempuannya. Hal ini agar anak perempuan, tidak hanya
semata-mata mengedapankan emosi atau perasaan anak tersebut. Wali yang
cenderung lebih berpengalaman dalam menjalani kehidupan dibanding sang anak, menjadi
wajar apabila anak perempuan juga harus mendengarkan nasehat-nasehat atau
pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh wali. Wali yang benar, tidak akan
pernah menjerumuskan anaknya ke dalam jurang. Oleh karena itu, nasehat-nasehat
dan pertimbangan dari wali sangat dibutuhkan untuk masa depan anak.
Zaman yang semakin modern ini juga tidak menutup kemungkinan untuk lebih mempermudah
akses hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada lagi perbedaan
pendidikan yang dapat diperoleh antara laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki
dan perempuan sama-sama memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu semampu
mereka. Hal ini menyebabkan, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kriteria-kriteria masing-masing terkait dengan calon suaminya. Laki-laki dan
perempuan cenderung lebih bebas untuk menentukan pasangan hidupnya, oleh
karenanya peran orang tua sangat dibutuhkan agar anak tidak salah memilih
pasangan, akan tetapi sebatas untuk memberikan nasehat-nasehat dan
pertimbangan-pertimbangan bukan untuk memaksakan kehendak.
Dampak dari wali yang memaksakan anak perempuannya menikah dengan orang
yang tidak diinginkan pada masa kini
dapat berbuah kefatalan. Mereka bisa saja justru melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan, seperti bunuh diri, kabur dari rumah, atau bahkan justru kabur
bersama calon suami yang diinginkan oleh anak perempuan tersebut. Hal ini dikarenakan,
situasi dan kondisi saat ini sudah tidak dapat disamakan dengan zaman dahulu.
Banyak fasilitas-fasilitas yang justru mendukung perbuatan-perbuatan yang tidak
diinginkan seperti di atas. Konteks perempuan zaman dahulu pun tidak sama, para
perempuan zaman dahulu yang mayoritas hanya dapat menyetujui perintah walinya,
meskipun sebenarnya tidak menerima, akan tetapi tidak untuk perempuan masa
kini. Hal ini sama sekali tidak diinginkan di dalam agama Islam, oleh karenanya
musyawarah harus selalu ada dalam keluarga, agar permasalahan keluarga dapat
dipecahkan secara baik-baik.
6. Penutup
Peran wali mujbir terhadap perkawinan di masa kini adalah tidak lagi
untuk memaksa sang anak melakukan pernikahan. Semangat juang Nabi Muhammad
untuk mengangkat derajat perempuan sudah selayaknya selalu diterapkan dalam
kehidupan sampai saat ini. Hal ini harus dilakukan sejak dari awal membentuk
keluarga. Kebiasaan yang harus diciptakan dalam keluarga yang ingin bahagia adalah
musyawarah. Musyawarah dalam setiap permasalahan, mulai dari yang paling sepele
hingga yang paling penting dalam keluarga, seperti menentukan pasangan hidup
untuk anak. Musyawarah dalam keluarga ditujukan agar masing-masing pihak dalam
keluarga dapat mengeluarkan
masing-masing pendapat untuk kepentingan bersama, tanpa ada pihak yang
didiskriminasi.
7.
Daftar Pustaka
Nasution,
Khoiruddin Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004.
Musayyar,
Sayyid Ahmad Al- Fiqih, Cinta Kasih Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga,
Jakarta: Erlangga, 2008.
[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I,
(Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004), hlm. 116.
[2] Ibid, hlm. 74.
[3] Ibid, hlm. 80-81.
[4] Ibid, hlm. 88-89.
[5] Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Fiqih Cinta
Kasih Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm.
103-104.
[6] Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan
Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga (Jakarta: Pustaka Hidayah,
2001), hlm. 34-35.
[7] Ibid, hlm. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar