Jumat, 22 Mei 2015

HAK KETIGA (KEPADA SAUDARA) BERHUBUNGAN DENGAN LISAN



RINGKASAN KAJIAN KITAB
(مَوْعِظَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ)

بسم الله الرحمن الرحيم
Jum’at, 1 Mei 2015

Dijelaskan Oleh: Ustadz Ihsan
HAK KETIGA (KEPADA SAUDARA) BERHUBUNGAN DENGAN LISAN
Iman seseorang dikatakan sempurna yaitu ketika ia memperlakukan saudaranya seperti ia memperlakukan dirinya sendiri. Salah satu contohnya yaitu ketika seseorang mempunyai aib, maka ia akan sebisa mungkin menutup aibnya tersebut sehingga tidak ada satu orangpun yang tahu. Begitupun ketika ia mengetahui aib orang lain, maka ia akan melakukan hal yang sama. Menceritakan aib orang lain penyebabnya adalah adanya sifat dendam dan dengki yang mengotori hati orang tersebut.
Terdapat sebuah hadits yang mengatakan bahwa. “Barangsiapa menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.” Orang dikatakan merdeka yaitu ketika ia mengetahui aib orang lain namun segera mengkubur dalam-dalam (segera melupakan) aib tersebut.
Pesan Abdullah bin Abbas:
1)      Jangan sekali-kali menyiarkan atau menyebarkan rahasia.
2)      Jangan berbuat ghibah. Teman yang baik adalah ia yang tidak membicarakan orang lain saat bersama kita, dan tidak membicarakan kita saat bersama orang lain.
3)      Jangan berdusta.
4)      Jangan berbuat maksiat.
5)      Jangan mengkhianati.
Satu kalimat dalam lima hal tersebut di atas itu lebih baik dari seribu amalan sunnah.
Menurut Imam Ghazali, orang yang mendengarkan ghibah sama dosanya seperti melakukan ghibah itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita berada dalam suatu kumpulan yang di dalamnya terdapat perbuatan ghibah, maka pergilah untuk menghindarinya. Atau jika mampu, lakukanlah sesuatu agar perbuatan ghibah tersebut tidak berkelanjutan. Seperti dengan mengingatkannya atau mengalihkannya pada pembicaraan yang lain.
Hendaklah seseorang menjauhi perdebatan yang tidak ada ujungnya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Jangan berdebat dengan orang bodoh, karena akan menyakitimu. Dan jangan berdebat dengan orang halim (sabar), karena suatu saat orang tersebut akan memecahkanmu (mematahkan argumenmu).”
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan debat, maka jika orang bathil, ia berada di surga paling bawah, sedang orang haq berada di surga paling atas.”
Ukuran dari hadits di atas adalah pada saat respon pertama, ketika ia menghadapi situasi yang memungkinkan terjadinya perdebatan. Perdebatan juga akan berakibat negatif, yaitu membangkitkan dendam dan permusuhan khususnya dari pihak yang merasa dirugikan atau dipermalukan. Betapa susahnya orang yang hidup saling membelakangi (bermusuhan).
Konteks debat pada saat ini seringnya bukan lagi pada kebenaran ilmu/intelektual, melainkan sebagai ajang untuk saling menyalahkan.
Sebaik-baiknya marah yaitu ketika agama dihina. Mayoritas orang akan marah saat dirinya dihina, dengan dalih menjaga harga diri, kehormatan diri, dan sejenisnya. Mereka menganalogikan misalnya, “Cacing saja jika diinjak akan jelalatan”. Namun hal itu tidaklah bijak. Menahan amarah pada saat direndahkan memang sangat sulit, namun jika kita mampu untuk menahannya tentu akan mendapatkan balasan sesuai dengan usahanya tersebut. Allah Maha Adil.
Cobalah belajar menjadi halim, yaitu bijak, murah hati, sabar, dan penuh santun.
Debat atau perdebatan mempunyai dua sisi dosa. Bagi si pemenang, maka akan muncul sikap takabur. Sedangkan bagi yang kalah, maka akan (merasa) terhina. Oleh karena itu, tidak ada kebaikan dalam perdebatan.
Terdapat sebuah hadits yang mengatakan, “Tinggalkanlah debat, karena manfaatnya sedikit dan membangkitkan permusuhan dengan saudara.”
Jangan sampai seseorang mempunyai musuh. Karena seperti pepatah, satu musuh itu lebih banyak dari seribu kawan.
Perdebatan identik dengan menonjolkan dirinya lebih pintar, mempunyai keutamaan, merendahkan dan menampakkan kebodohan orang lain.
Terdapat juga sebuah hadits yang mengatakan, “Jangan melakukan debat, termasuk banyak guyon (bercanda) dengan sesama.” Jangan suka bercanda terlalu berlebihan karena akan mengakibatkan kekecewaan dan penyesalan.
Ketika bertemu dengan orang lain, janganlah menunjukkan wajah cemberut, tetapi harus menampakkan wajah sumringah dan akhlak yang bagus. Bukan dengan harta.
Kesamaan perkataan, perbuatan dan kasih sayang akan mempererat ukhuwah atau persaudaraan.

Tanya Jawab:
1.      Bagaimana hukumnya ghibah (membicarakan orang lain) namun dengan cara ditulis seperti pada buku Diary/ buku harian?
Jawab:
Hukumnya sama, karena dengan menulisnya otomatis otak akan mengingatnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Hal itu justru lebih terpatri dalam ingatan dan hati. KH. Zainal Abidin Munawwir ngendiko bahwasanya curhat atau menceritakan masalah janganlah kepada orang lain. Orang dengan orang. Namun curhatlah kepada Allah SWT yang Maha Besar.

Wallaahu a’lam bis showaab. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar