Rabu, 22 April 2015

HAK-HAK SAUDARA TERKAIT DENGAN HARTA DAN JIWA



RINGKASAN KAJIAN KITAB
(مَوْعِظَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ)

بسم الله الرحمن الرحيم
Jum’at, 10 April 2015

Dijelaskan Oleh: Ustadz Ihsan
HAK-HAK PERTAMA (KEPADA SAUDARA) BERHUBUNGAN DENGAN HARTA
Terdapat suatu kisah yang dialami oleh sahabat Ibnu Umar RA, yaitu ketika beliau memberi kepala kambing kepada saudaranya, namun kepala kambing tersebut diberikan lagi oleh saudara Ibnu Umar kepada saudaranya karena merasa saudaranya tersebut (saudara yang kedua) lebih membutuhkan dari saudara yang pertama (saudara sahabat Ibnu Umar RA). Hal tersebut terus terjadi sampai tujuh kali putaran (memberi kepala kambing kepada saudara yang lain), dan pada akhirnya kepala kambing tersebut kembali lagi kepada sahabat yang pertama kali memberi kepala kambing kepada saudaranya, yaitu sahabat Ibnu Umar RA. Berdasarkan kisah di atas menunjukkan bahwa pada zaman para sahabat, mereka lebih mementingkan kebutuhan orang lain dibanding dengan kebutuhan dirinya sendiri.
Zuhud terhadap dunia yaitu ditunjukkan dengan tetap menerima pemberian untuk menyenangkan hati pemberi (tidak menolaknya), setelah itu boleh memberikan pemberian tersebut kepada orang lain atau yang lebih membutuhkan.
Orang itu meningkat sesuai dengan maqomnya (tingkatannya), jangan langsung meningkat/lompat yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Jihad dengan harta termasuk dalam jihad yang paling berat sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah : 41 yang artinya:
“......, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu (jiwa) di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

HAK-HAK KEDUA (KEPADA SAUDARA) DI DALAM MENOLONG DENGAN JIWA
Tingkatan paling rendah ketika menolong orang lain (menolong dengan jiwa) yaitu jika mendapat permintaan tolong dari orang lain dan dia mampu untuk membantu kemudian menunjukkan kebahagiaan, wajah yang sumringah kepada orang yang meminta tolong tersebut.
Ketika meminta bantuan kepada orang lain kemudian orang tersebut lupa, maka ucapkanlah kalimat takbir tiga kali (agar orang tersebut dibangkitkan/diingatkan dari sifat lupanya ^^).
Terdapat suatu kisah yang dialami oleh seorang Ulama salaf, yaitu ketika beliau ditinggal wafat ayahnya kemudian ada saudara yang menggantikan posisi ayahnya (segala sesuatu yang dulu dilakukan oleh ayahnya, tergantikan oleh kehadiran saudaranya tersebut). Sehingga Ulama salaf tersebut tidak merasa kehilangan ayahnya lagi, padahal ia telah wafat.
Menceritakan amal shaleh tanpa ada niat supaya orang lain meniru amalan baik, maka akan menghilangkan keikhlasan amal tersebut. Berarti menceritakan amal baik asal dengan niat agar orang lain meniru kebaikan yang pernah dilakukan diperbolehkan.
Amal shaleh tak usah diceritakan kepada orang lain karena hal tersebut akan menjadi buah amal agar bisa dekat dengan Allah SWT. Begitu pula ketika seseorang bersedekah namun tidak diketahui orang lain, maka akan aman dari permusuhan lingkungan/orang-orang yang ada di sekitarnya.

Kesimpulan:
1.      Kebutuhan (hajat) orang lain hendaknya dianggap lebih penting dari kebutuhan (hajat) pribadi/diri sendiri.
2.      Mencari waktu kapan saudara kita membutuhkan bantuan kita (dengan kata lain mencari dengan tanda ia ada kelalaian, agar kita bisa segera membantunya kapanpun), bukan menunggunya untuk meminta bantuan kita.
Sifat syafaq yaitu mempunyai rasa belas kasih kepada sesama. Tentunya jika sudah pada tingkatannya, maka seseorang bisa mencapai sifat syafaq. Cara mencapainya yaitu dengan melakukan latihan terus menerus.
Dalam kitab Ushfuriyah terdapat sebuah hadits yang menjelaskan bahwa tanda akhir zaman yaitu ketika orang Islam sudah tidak ada rasa belas kasih kepada sesama.
3.      Jangan merasa mempunyai hak (balasan, bayaran, dan yang sepadanya) ketika membantu orang lain.
4.      Saat mempunyai saudara selama tiga hari tidak ada kabarnya, hendaknya segera mencari kabar.
5.      Bukti belas kasih kepada sesama yaitu ketika makan dengan hidangan lezat, maka ingat kepada teman (orang lain).
Sahabat Ali pernah berkata bahwa, “dua puluh dirham yang aku berikan kepada saudaraku adalah lebih besar dari seratus dirham yang aku berikan kepada orang miskin.” Menunjukkan bahwa menjalin hubungan dekat dengan saudara/kerabat adalah hal yang sangat penting.
Hubungan dekat dengan saudara diceritakan dalam sebuah kisah dimana seseorang sampai memberi kunci rumahnya kepada saudaranya. Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat berat karena setiap orang pastinya mempunyai privasi yang tidak semua orang harus mengetahuinya.

Tambahan:
1)      Putus asa dan harapan hendaknya tidak kepada manusia, tetapi hanya kepada Allah SWT semata.
2)      Ilmu akhlaq (ilmu tasawuf) yaitu ilmu laku/praktek, yang hanya bisa dibuktikan/dilakukan dengan amal/perbuatan/sikap nyata dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar penguasaan dan pemahaman teori.
3)      Langkah-langkah agar bisa melatih diri mempunyai sifat ikhlas. Yang pertama yaitu hendaknya ketika melakukan amal baik hanya diri sendiri yang mengetahui, kemudian tidak menceritakannya kepada orang lain, lalu saat akan muncul perasaan untuk menceritakannya kepada orang lain langsung mengingatnya dan segera mengalihkannya.
4)      Menghilangkan kehadiran kita (sifat ke-aku-an) karena aku, kita, dia, dan mereka akan hilang ketika di hadapan-Nya.
5)      Orang yang beramal mempunyai tiga tingkatan, yaitu:
-          Tingkatan pertama seperti tukang bangunan: Ia akan bekerja sesuai dengan bayaran yang diterimanya.
-          Tingkatan kedua seperti pedagang: Ia akan mengkalkulasikan amalnya, terkait dengan untung ataupun rugi yang akan diperolehnya.
-          Tingkatan ketiga (tertinggi) seperti dua orang yang saling mencintai: Ia tidak akan lagi memikirkan untung-rugi yang akan didapatnya, karena yang terpenting adalah ia selalu memberi dan melakukan segala sesuatu demi orang yang dicintainya. Contohnya yaitu seperti cinta seorang ibu kepada anaknya.
6)      Suatu jalan hidup (thariqah) agar bisa wushul (sampai) kepada Allah di dalam dunia tasawuf  merujuk kepada dua orang sufi. Yang pertama yaitu Imam Asyadzili, yang merupakan seorang sufi yang kaya raya namun menggunakan hartanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Kemudian yang kedua yaitu Imam Abdul Qadir Jaelani, yang mengambil jalan hidup kebalikan dari Asyadzili. Kalangan pesantren pada umumnya merujuk kepada Imam Abdul Qadir Jaelani, ditunjukkan yaitu dengan seringnya pembacaan biografi beliau pada saat acara Manaqib-an.   
7)      Hakikat seorang muslim yaitu cinta kepada Allah SWT semata. Kaya maupun miskin tidaklah menjadi masalah.

Wallaahu a’lam bis showaab. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar