Selasa, 06 Desember 2011

MENGUKUR MASA DEPAN DENGAN MASA LALU PERSPEKTIF SURAT AL-DHUHA


A. Pendahuluan

Surat adh-Dhuhā termasuk Surat Makiyyah, terdiri dari 11 ayat, diturunkan sesudah surat al-Fajr. Nama adh-Dhuha dari kata adh-Dhuhâ yang terdapat pada ayat pertama, artinya waktu naiknya matahari. Surat ini terletak sesudah surat al-Lail. Surat al-Lail menerangkan bahwa orang yang bertakwa akan dimudahkan Allah mengerjakan perbuatan takwa sehingga memperoleh kebahagiaan, sedangkan surat adh-Dhuhā menerangkan bahwa keberuntungan di akhirat lebih baik daripada keberuntungan di dunia.
Surat adh-Dhuha dibuka dengan sumpah demi dua waktu yang menggambarkan jam kerja dan jam istirahat, bahwa Allah tidak akan meninggalkan dan menbenci Rasul-Nya. Kedudukan tinggi di akhirat yang dijanjikan Allah kepadanya jauh lebih baik daripada apa yang dikaruniakan-Nya di dunia. Kemudian Allah bersumpah pula bahwa Dia akan memberi Rasulullah sesuatu yang membuatnya merasa puas. Keadaan masa lalu yang dialami Rasulullah merupakan bukti dari itu semua. Betapa, sebelumnya, Rasulullah adalah seorang anak yatim, tetapi kemudian mendapat perlindungan dari Allah. Betapa ia mengalami kebingungan, tetapi kemudian mendapat petunjuk dari Allah. Dan betapa pula ia adalah seorang fakir, tetapi kemudian memperoleh penghidupan yang cukup dari Allah. Ayat-ayat selanjutnya dalam surat ini mengajak manusia untuk menghormati anak yatim, tidak menghardik orang yang meminta-minta dan menyebutkan nikmat Allah.[1]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah merasa kurang enak badan sehingga tidak melakukan shalat malam satu malam atau dua malam. Datanglah seorang wanita, Ummu Jamil istri Abu Lahab, berkata kepadanya: ”Hai Muhammad aku melihat syaitanmu (malaikat Jibril) telah meninggalkan engkau”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 93: 1-3) yang menegaskan bahwa Allah tidak membiarkan Muhammad dan tidak membencinya (Riwayat asy-Syaukani dan lainnya yang bersumber dari Jundub).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Diperlihatkan kepadaku kemenangan-kemenangan yang akan diperoleh umatku, sesudah aku meninggal, sehingga aku merasa sangat gembira”. Maka turunlah ayat ini (S. 93: 4) berkenan dengan peristiwa itu (Riwayat al-Thabrani dalam kitab Al-Ausath yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan sanad Hasan).[2]
Riwayat yang lain lagi menyatakan bahwa Rasulullah mengadu kepada istrinya, Sayyidah Khadijah, tentang terputusnya wahyu. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Tuhanku telah meninggalkan aku dan membenciku.” Khadijah berkata, “Tidak! Demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, Allah tidak memulai kemuliaan ini kepadamu kecuali Dia ingin menyempurnakannya untukmu.” Maka turunlah ayat, ”Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.”[3]     


B. Teks Surat dan Terjemah Lafzhiyah-Tafsiriyah
     
وَالْضُّحَى﴿۱﴾ وَالَّيْلِ إِذَا سَجَى ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى﴿٢﴾ وَلَلأَخِرَةُ خَيْرُ
لَّك مِنَ ألأُوْلَى﴿٤﴾ وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى﴿۵﴾ أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فأَوَى﴿٦﴾ وَوَجَدَكَ ضَآلاًّ فَهَدى ﴿۷﴾ وَوَجَدَكَ عَآئلاً فَأَغْنَى﴿۸﴾  فَأَمَّاالْيَتِيْمَ فَلاَ تَقْهَرْ ﴿٩﴾ وَأَمَّا السَّآ ئِلَ فَلاَ تَنْهَرْ ﴿۱۰﴾ وَأَمَّا بِنِعْمَتْكَ فَحَدِّّثْ ﴿١۱﴾

1.            Demi cahaya pagi  yang cemerlang,
2.            Demi malam bila gelap dan sunyi,
3.            Tiada Tuhanmu  meninggalkan kau dan tiada Ia membenci kau.
4.            Yang kemudian sungguh lebih baik bagimu dari yang  permulaan.
5.            Dan Tuhanmu pasti memberikan padamu apa yang menyenangkan bagimu.
6.            Bukankah Ia mendapati kau sebagai  yatim, dan memberimu perlindungan?
7.            Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu menunjuki kau jalan.
8.            Dan Ia mendapati kau miskin, lalu menjadikan kau kaya.
9.            Karenanya, anak yatim janganlah kau aniaya.
10.        Dan  orang yang bertanya,  janganlah kau bentak.
11.        Dan nikmat Tuhanmu, janganlah sembunyikan olehmu (dan nafkahkanlah)![4]

  1. Aku bersumpah demi waktu naiknya matahari dan waktu kerja.
  2. Demi malam ketika telah sunyi dan kegelapannya mulai menyelimutinya.
Aku bersumpah dengan cahaya dan kegelapan murni yang ajeg, pangkal wujud insani dan bergabungnya alam ruhani dan jasmani.
  1. Bahwa Tuhanmu, wahai Muhammad, tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.
Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan terhijab dari Dzat-Nya di alam Cahaya dan kehadiran al-Qudus, sementara rindumu kepada-Nya di maqam sifat tetap menyala. Dia tidak membencimu di alam kegelapan dan mencampakkanmu hanyt bersama makhluk tanpa gelora cinta dan rindu di dalam jiwa, terhijab dari Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya. Kalaupun Dia seperti meninggalkanmu, maka itu sekadar untuk membakar rindumu saja.  
  1. Dan bahwa akibat dan akhir keadanmu adalah lebih baik daripada permulaannya.
Keadaan akhir – yang tak lain adalah penampakan (tajalli) setelah melalui liku-liku hijab dan rindu yang sangat – itu lebih baik bagimu daripada keadaan pertama. Sebab, dalam keadaan kedua engkau aman dari perubahan ke arah munculnya “sisa-sisa” wujud dan egoisme.
  1. Dan Aku bersumpah pula bahwa Tuhanmu pasti akan memberi kebaikan dunia dan akhirat sampai kamu merasa puas.
Dia akan memberikan wujud haqqani, untuk membimbing makhluk dan menyerukan al-Haqq. Ini semua dilimpahkan setelah kamu mengalami fana murni, sehingga kamu ridha (puas) dengan wujud haqqani itu, sebagaimana engkau puas dengan wujud manusia biasa. 
  1. Bukankah Allah mendapatimu dalam keadaan yatim dan membutuhkan seseorang untuk memeliharamu, lalu Dia melindungimu dengan menyerahkan dirimu kepada orang yang dapat mengurusmu dengan baik?
Bukankah Dia mendapatimu sendirian dalam keadaan terhijab oleh sifat-sifat jiwa dari cahaya haqiqi ruh al-Qudus, terputus darinya dan terlantar, lalu Allah menarikmu ke sisi-Nya, mendidikmu dalam pangkuan-Nya, dan melindungimu supaya ia mengajari dan membersihkanmu.   
  1. Bukankah Dia mendapatimu dalam keadaan bingung, tidak ada satu kepercayaan pun di sekitarmu yang dapat memberimu kepuasan, kemudian Dia memberimu petunjuk kepada jalan kebenaran?
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung dari tauhid dzati ketika kamu berada di alam ruh al-Qudus dalam keadaan terhijab oleh sifat-sifat dari Dzat-Nya, lalu Allah sendiri yang membimbingmu ke arah hakikat-Nya. 
  1. Bukankah Dia mendapatimu dalam keadaan tidak memiliki harta, lalu Dia mencukupimu dengan rezeki yang dikaruniakan-Nya kepadamu?
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, fakir dan tak memiliki apa-apa, fana di dalam-Nya, lalu Allah mencukupkanmu dengan memberimu wujud-anugerah yang mencapai kesempurnaan haqqani dan berakhlak dengan akhlak ketuhanan.  
9,10,11. Apabila hal ini yang Allah lakukan terhadapmu, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang kepada anak yatim, jangan mengusir orang yang meminta-minta dengan kekerasan, dan sebutlah nikmat Tuhanmu sebagai rasa syukur kepada Allah dan juga untuk menunjukkan nikmat-Nya.[5]
Terhadap orang sendirian yang hatinya remuk redam, yang terputus dari cahaya al-Qudus, yang terhijab oleh hijab jiwa, maka janganlah kamu berlaku kasar; sayangilah ia, dengan lemah lembut dan arahkanlah ia dengan dakwah, dengan hikmah dan nasihat lembut, seperti halnya Aku telah melindungimu. Adapun orang yang meminta-minta, yang memiliki kesiapan-kesiapan, tetapi terhijab dan terlantar,  yang tak henti-hentinya mencari mencari arah tujuan, maka janganlah kamu menghardiknya, dan janganlah kamu mencegahnya untuk bertanya, dan berilah ia petunjuk, sebagaimana Aku memberi petunjuk kepadamu. Dan terhadap nikmat seperti ilmu dan hikmah yang dianugerahkan kepadamu di maqam baqa`, maka bicarakanlah ia dengan cara mengajarkannya kepada orang-orang dan mencukupi mereka dengan kebaikan hakiki sebagaimana dan Aku telah mencukupkanmu. Wallahu a’lam.[6]          

C. Pembahasan
            Surat adh-Dhuha ini dimulai dengan qasam (sumpah) dengan huruf wawu. Qasam (sumpah) dengan huruf wawu pada umumnya adalah gaya bahasa untuk menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih (objek yang dijadikan sumpah) dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelurusuri sumpah-sumpah dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam surat adh-Dhuha, kita menemukannya dikemukakan sebagai latifah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiasi ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan diindera. Dengan demikian, Al-Quran al-Karim, dengan sumpah-sumpahnya menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan.[7]    
 
وَالضُّحَى وَالَّيْلِ  
Adh-dhuha dan al-laili mencakup seluruh waktu.[8] Allah bersumpah dengan waktu dhuhā saat yang segar, fresh bagi umat manusia karena baru istirahat di malam hari dan akan melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa.[9] Di saat ini disunnahkan untuk shalat Dhuha dengan harapan akan memperoleh kemudahan, berkah dalam berkarya dan memperoleh hasil optimal.
Allah bersumpah dengan waktu malam, saat di mana suasana menjadi gelap gulita setelah datangnya terang benderang. Malam adalah saat istirahat manusia untuk mengumpulkan kembali energi yang telah terkuras di siang hari. Di malam hari ini disunahkan untuk melakukan shalat Tahajjud agar memperoleh kekuatan dan kemuliaan dalam hidup yang akan dijalani di pagi hari di mana manusia banyak menemui ujian dan rintangan untuk mencapai cita-cita dan harapan.
Ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan.[10] Di sini Allah melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya jelas, menyegarkan dan menyenangkan, sedangkan ketidak-hadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat, “demi malam ketika hening”.
Dengan dua hal yang bertolak belakang ini Allah menafikan dugaan atau anggapan yang menyatakan bahwa Muhammad SAW telah ditinggalkan oleh Tuhannya atau bahkan Tuhan telah membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, maka ketidak-hadiran wahyu beberapa saat tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi.[11]

مَاوَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَاقَلَى 
Terputusnya wahyu bukan karena kemarahan Allah, tetapi mengandung hikmah. Tentang jangka waktu terputusnya wahyu ada beberapa pendapat, yakni dua hari, empat hari, 15 hari, dan 40 hari.[12]  Ketidak-hadiran wahyu itu justru di saat Muhammad menanti-nantikannya. Hal ini membuktian bahwa wahyu adalah wewenang Allah sendiri. Walaupun keinginan Muhammad meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan hasil renungan atau bisikan jiwa.[13] Berangsur-angsurnya pewahyuan itu mengandung maksud dan tujuan tertentu, yaitu untuk meneguhkan hati Nabi dan menjawab pertanyaan.[14] Hal ini sebagaimana terdapat dalam Firman Allah SWT yang artinya: Dan mereka yang kafir berkata, “Mengapa Al-Quran yang diturunkan kepadanya tidak sekaligus?” Diwahyukan demikian supaya dengan itu menguatkan hatimu, dan Kami membacakannya satu demi satu. Dan setiap mereka datang kepadamu dengan suatu pertanyaan, Kami memberikan kepadamu kebenaran dan penafsiran yang sebaik-baiknya.” (QS al-Furqan [25] : 32-33). Jadi keterlambatan wahyu itu justru untuk memantapkan dan menguatkan jiwa beliau atas kemungkinan datangnya wahyu terus-menerus hingga sempurna pengutusan beliau untuk membawa kebenaran.[15]

وَلَلْأَخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْلأُوْلَى  
Pekerjaan awal selalu mengalami kesulitan, tetapi pada akhirnya pasti ada kemudahan seperti dijelaskan dalam QS al-Insyirah [94]: 5-6:

فَإْنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿۵﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا﴿٦﴾
Sungguh bersama kesukaran ada kemudahan, (5) sungguh bersama kesukaran ada kemudahan (6).
Ketika suatu pekerjaan dimulai, pasti mengalami hambatan, perlawanan, dan  tantangan. Namun pada akhirnya akan mencapai kemenangan gilang gemilang. Tahapan-tahapan pekerjaan merupakan proses demi proses yang harus dijalani. Demikianlah sejarah perjuangan senantiasa berlaku dan berjalan. Anugerah Allah akan diberikan lebih banyak: harga diri (prestise), prestasi, kesempurnaan dan kebesaran jiwa, ilmu dunia dan akhirat, pengetahuan tentang umat terdahulu, ketinggian agama, penaklukkan-penaklukkan beberapa negara, baik di zaman Nabi maupun para Khalifah yang membentang ke Timur dan Barat, ridha Allah dan kebahagiaan.[16] Allah memberikan anugerah kenabian, syafa’at kepada umatnya dan umat lain di hari Kiamat.[17]
Alternatif masa depan sebagai horizon rencana ada lima:
  1. Masa depan terdekat, dimulai sejak saat ini sampai dengan tahun depan; pilihannya agak terbatas masih bergantung pada masa lalu.
  2. Masa depan yang dekat, satu sampai lima tahun; banyak pilihan rencana yang dapat dibuat dan membawa perkembangan besar tetapi tidak membawa perkembangan yang bersifat revolusioner.
  3. Masa depan satu generasi, lima sampai sepuluh tahun, diperlukan untuk menumbuhkan dan mematangkan satu generasi. Keputusan dan kebijaksanaan yang diambil sekarang dapat mempengaruhi masa depan generasi berikutnya. Dengan wawasan ke depan diciptakannya keadaan yang sesuai, hampir semua rencana dapat menjadi kenyataan dalam jangka waktu ini.
  4. Masa depan multi generasi (jangka panjang), 50-100 tahun; pada umumnya tidak dapat dikendalikan dari sekarang, tetapi juga tidak mustahil untuk melihat atau merebut kesempatan terhadap krisis di depan.
  5. Masa depan yang jauh: 50 tahun dan seterusnya hanya mungkin untuk membuat spekulasi.
Adapun  perencanaan masa depan adalah sebagai berikut:
  1. Perencanaan masa depan secara sengaja diarahkan kepada nilai-nilai yang telah diuji perencanaannya dan diakselerasikan pada tindakan. Perencanaan menekankan pada jalur-jalur alternatif, bukan proyeksi linier dan terpusat pada hubungan antara berbagai kemungkinan pengaruh timbal-balik dari satu hal kepada yang lain serta implikasi-implikasi yang mungkin dari pengaruh semacam itu.
  2. Perencanaan masa depan dirancang untuk merujuk ke jalur-jalur alternatif yang lebih banyak dibandingkan dengan perencanan yang lazim.
  3. Perencanaan tradisional cenderung bersifat khayal, memandang hari esok semata-mata sebagai model kini yang telah dikembangkan. Riset masa depan menyadari perlunya penglihatan ke depan dan perencanaan konsep-konsep masa depan yang sama sekali berbeda.
  4. Perencanaan ini bersifat studi rasional mengenai perkembangan pada masa depan dan konsekuensinya serta memberikan perhatian yang lebih kecil pada analisis statistik atau proyeksi perse.[18]

وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
Allah berjanji akan memberi karunia yang banyak dan nikmat yang besar di dunia dan akhirat. Bagian di dunia adalah kemenangan dalam agama, sedangkan di akhirat adalah ganjaran dan kemuliaan serta syafaat bagi umat Rasulullah sehingga ia merasa puas. Hal ini menunjukkan ketinggian dan kemuliaannya di dunia maupun akhirat. Demikian itu disebabkan agama dan kedudukan Nabi yang semakin tinggi dan terpandang di antara para Nabi dan manusia lainnya, yaitu syafaat yang besar pada hari kiamat nanti.[19]
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَأَوَى
Ketika Rasulullah berada dalam kandungan ibunda Aminah dua bulan, ia ditinggal wafat ayah terinta, Abdullah. Setelah lahir tiada lama ia juga ditinggal wafat ibunda Aminah, maka jadilah Muhammad seorang anak yatim piatu. Halimatus Sa’diyah menyusuinya hingga berusia 4 tahun, Sejak itu Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib. Sepeninggal kakeknya, pamannya Abu Thalib menggantikan pengasuhan dirinya hingga dewasa. Dengan demikian pengasuhan Rasulullah sejak yatim piatu hingga dewasa oleh orang-orang yang mencintainya merupakan perlindungan Allah, sehingga kesedihan Muhammad yang ditinggal ayah ibu dapat terobati.[20]

وَوجَدَكَ ضَآلاًّ فَهَدَى  
Rasulullah tidak menyukai kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah dan musyrik: menyembah berhala, menjadi rentenir, memperbudak manusia dengan sewenang-wenang, mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, berperang karena masalah-masalah kecil. Beliau tidak suka, tetapi tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya, lalu tertarik hatinya untuk membersihkan jiwa dengan berkhalwat di gua Hira hingga akhirnya memperoleh wahyu pertama dan selanjutnya.[21] Allah menjelaskan dalam QS Asy-Syūrā [42] : 52,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنآإِلَيْكَ رُوْحاًمِّنْ أَمْرِنَامَا كُنْتَ تَدْرِى مَاالْكِتَابُ وَلاالْإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَهُ نُوْراً نَهْدِى بِهِ مَنْ نَشَآءُ مِنْ عِبَادِنَاوَإِنَّكَ لَتَهْدِى إِلَى ًشرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ        
Dan demikianlah, Kami sampaikan kepadamu wahyu atas perintah Kami, yang sebelumnya tak kauketahui Kitabitu apa  dan iman itu apa. Tetapi Kami jadikan Al-Qur`an cahaya; Kami bimbing siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami; dan engkau pasti  membimbing manusia  ke jalan yang lurus.

وَوَجَدَكَ عَآئِلاً فَأَغْنَى 
Beliau hidup miskin, karena ayahnya tidak meninggalkan warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tak berarti. Memasuki masa dewasa, Nabi bertemu dengan Khadijah, seorang janda kaya yang mempercayakan perniagaan kepada Muuhammad karena kejujuran beliau. Melalui kerja sama niaga ini Khadijah akhirnya menjadi istri Muhammad hingga kerasulannya. Pernikahan Rasulullah dengan Khadijah membuat dirinya terhormat di mata orang-orang Quraisy yang ternama karena keturunan dan hartanya.[22]
Kekayaan Khadijah menjadi penopang utama Rasulullah dalam berjuang menegakkan Risalah-Nya. Peninggalan harta Khadijah dapat menjaga muruah beliau. Demikian juga kesiapan Abu Bakar menyerahkan seluruh hartnya untuk perjuangan Rasulullah menambah kuatnya logistik umat Islam di samping harta para Shahabat lainnya.

فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلاَ تَقْهَرْ
Nabi merasakan menjadi anak yatim, maka terhadap anak yatim Nabi sangat menyayangi dan menaruh  perhatian yang tinggi. Salah satu di antaranya ia menikahi Umu Salamah yang ditinggal mati suaminya ketika berperang dan menjadi syahid, meninggalkan seorang istri dan anak-anak yatim dan menyantuni mereka. Bahkan dalam salah satu hadis ia menggambarkan bahwa di dalam surga nanti antara Rasulullah dan anak-anak yatim seperti jari tengah dan jari telunjuk (Hadis riwayat Imam Bukhari dan  Imam Ahmad).

وَأَمَّا السَّآئِلَ فَلاَ تَنْهَرْ
Mereka yang datang ingin menanyakan sesuatu, mungkin mereka memang benar-benar peminta-minta yang mengharapkan bantuan dana, atau orang yang tidak tahu dan ingin memperoleh pengetahuan, atau orang yang takut-takut mengharapkan tuntunan dan dorongan.[23] Jika ada yang meminta tolong, baik ilmu maupun harta tidak perlu kau menghardik, tetapi hendaknya melayani dengan baik. 

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثّْ
Mensyukuri nikmat Allah melalui hati (rasa puas, ridha, suka cita) ucapan dengan kata syukur: Alhamdulillah, dan perbuatan dengan cara mendermakan sebagian harta dan memanfaatkan anugerah Allah sesuai dengan aturan dan tujuan penganugerahannya. Di antara anugerah tak ternilai kepada nabi Muhammad SAW adalah kenabian dan Al-Qur`an.[24]
Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah. Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah “alhamdulillah” ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran  nikmat Allah. 

D. Renungan

Ketika Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk-Nya, ini mengandung arti betapa pentingnya makhluk tersebut, baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun waktu bagi kehidupan manusia. Sumpah Allah dengan waktu dhuhā (sepenggalahan siang) dan lail (malam) memotivasi umat agar benar-benar menghargai waktu, karena malam dan siang merupakan satu kesatuan yang mengikat seluruh aktivitas manusia. Manusia seharusnya dapat mengisi waktu-waktu tersebut dengan aktivitas yang bermanfaat, karena perjalanan manusia dalam usahanya untuk mengisi umur ada dalam lingkaran waktu.
Hidup manusia tidak seperti garis yang bersifat linier terus ke depan (maju), tetapi lebih seperti perputaran waktu (yang berbentuk siklus), yang kadang-kadang berada di bawah, tengah atau berada di puncak. Berputarnya kehidupan seseorang membuat hidup ini menjadi dinamis dan mengajarkan umat agar senantiasa berhati-hati, waspada dan serius tetapi rileks dalam menghadapi semua ujian dan cobaan karena semuanya bersifat sementara, tidak ada yang abadi, seperti kata pepatah,  “Badai pasti berlalu”. Yang terpenting adalah usaha keras dan optimal untuk mencari alternatif-alternatif baru dengan rencana yang matang untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Kalimat atau ayat walal-ākhiratu khairun laka min al-ūlā menunjukkan bahwa jika suatu perkara ditangani dengan serius, yang datang kemudian pasti akan lebih baik daripada yang ada lebih dulu. Islam mengajarkan umatnya untuk maju, progress, bukan set-back, mundur dan berandai-andai, tetapi melihat ke depan, selalu bekerja dan berbuat untuk jangka panjang, bukan instant, kesenangan sesaat, karena akhirat lebih baik dan lebih abadi dari dunia ini.
Kebaikan dan kasih-sayang Allah, dan anugerah yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya lebih besar, lebih banyak jika dibandingkan ujian dan cobaan yang diberikan kepadanya. Maka ketika menerima cobaan niscaya manusia sabar dan ikhlash, karena ujian itu tak sebanding dengan anugerah-Nya.
Perintah untuk menyayangi dan menyantuni anak yatim memotivasi umat untuk menyelenggarakan panti asuh dan panti anak yatim, di samping memotivasi umat memnggalang dana menjadi orang tua asuh untuk memberi bea siswa bagi mereka yang tak berpunya. Lebih jauh lagi ayat ini mendorong sebuah Negara untuk membuka Departemen Sosial. Hal ini merupakan kesempatan dan peluang  bagi umat untuk menanam kebaikan sebanyak-banyaknya.
Mensyukuri nikmat sesuai dengan petunjuk Allah tidak akan mengurangi anugerah pemberian-Nya, tetapi malahan akan menambah, karena syukur itu  “membuka”, lawan dari kufur, “menutup”. Sebagaimana janji Allah, jika kita pandai mensyukuri nikmat Allah, pasti Ia menambah dan melipatgandakan anugerah-Nya. Bersyukur berarti mengalirkan nikmat Allah ke tempat-tempat lain yang lebih luas, sehingga kenikmatan itu lebih merata, tidak hanya berputar-putar di satu tempat. Kebahagiaan, baik kebahagiaan materi, ilmu maupun spiritual, tidak seharusnya dinikmati oleh segelintir orang saja, tetapi untuk sekalian alam.

E. Penutup

Surat adh-Dhuhā merupakan salah satu di antara wahyu Allah yang mengandung hikmah bagi kehidupan umat di masa yang akan datang, karena Allah memiliki tujuan yang mulia.
Makna terdalam dari surat Adh-Dhuhā dapat diperoleh jika kita mau mencermati dengan saksama dan mengamalkan substansi yang terkandung di dalam untaian ayat-ayatnya, karena keabsahan wahyu Allah tetap berlaku hingga akhir masa.
Ujian Allah tidak hanya diberikan kepada orang-orang yang durhaka, tetapi ujian akan diberikan kepada setiap manusia, termasuk hamba-Nya yang paling Ia cintai, Nabi SAW. Allah yang menciptakan hidup dan mati bagi manusia tiada lain untuk menguji siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad. Tafsir Juz ‘Amma., terjemah Mohd. Syamsyri Yoesoef dan Mujiyo Nurkholis. Bandung: Sinar Baru, 1993.

Abdurrahman Aisyah, Tafsir Bintusy-Syathi`, terjemah Mudzakir Abdussalam, Bandung: Mizan, 1996.

Ali, Abdullah Yusuf, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Ali Maulana Muhammad, Qur`an Suci, terjemah H.M. Bachrum Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979.

al-Alusi, Mahmud al-Baghdadi, Ruhul Ma’ani. Mesir: Dār Fikri, Juz XXX, tt.
Arabi, Muhyiddin Ibn. Isyarat Ilahi Tafsir Juz Amma Ibn Arabi, terj. Cecep Ramli Bihar Anwar. Jakarta: Iiman, 2002.

Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Pnjimas, 1982.

Khadim al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur`an dan Terjemahnya. Saudi Arabi, 1971.

Majelis Tinggi Urusan Agama Al-Azhar – Kementerian Wakaf Republik Rakyat Mesir, Al-Muntakhab, Kairo: Mathabi’ Al-ahram, 2001.

Qutb, Sayyid, Fi Zhilali Al-Qur`an. Kairo: Dar Syuruq, 1992.

Rachman, Budhy-Rachman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.

Sardar Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan, 1993.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1996

az-Zuhaili Wahbah. At-Tasir Al-Munir. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991


[1] Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Al-Azhar – Kementerian Wakaf Republik Arab Mesir, Al-Muntakhab (Selekta) dalam Tafsir al-Quran al-Karim (Kairo: Mathabi’u al-Ahram, 2001), 1238.
[2] Qomaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, Cet. II,1975), 575-577.
[3] ‘Aisyah ‘Abdurrahman, Tafsir Bintusy-Syathi`, terjemah Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), 48.
[4] H.B.Jassin, Al-Quran al-Karim Bacaan Mulia (Jakarta: Djambatan, 1991), 867.
[5] Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Al-Azhar-Kementerian Wakaf Republik Arab Mesir, Al-Muntakhab…, 1238-9.
[6] Muhyiddin Ibn Arabi, Isyarat Ilahi Tafsir Huz Amma Ibn Arabi, terjemah Cecep Ramli Bihar Anwar (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, 2002), 153-158.
[7] ‘Aisyah ‘Abdurrahman, Tafsir Bintusy-Syathi`…, 51-52.
[8] Mahmud al-Baghdadi al-Alusi, Ruhul Ma’ni (Mesir: Dar Fikr, Juz XXX, tt.), 197.
[9] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, Juz XXX, 1982), 187; Wahbah Zuhaili, Al-Munir (Beirut: Dar Fikr al-Ahr, 1991), 262.
[10] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, Cet. IV, 1994), 47.
[11] Ibid.,
[12] Mahmud al-Baghdadi al-Alusi, Tafsir Ruhul Ma’ani …, 201.
[13] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an …, 48.
[14] Nurcholish Madjid, “Konsep Asbabun Nuzul Relevansinya bagi Pandangan Historis Segi-segi Tertentu Ajaran Keagaman” dalam Budhy-Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), 24-41.
[15] Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, terj. Mohd. Syamsuri Yoesoef dan Mujiyo Nurkholis, Cet. I (Bandung: Sinar Baru, 1993), 207.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an …, 189.
[17] Wahbah az-Zuhaili, Al-Munir … hal. 285; Mahmud al-Baghdadi alAlusi, Ruhul Ma’ani ….,201.
[18] Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, terj Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1993),. 19-22.
[19] Mahmud al-Baghdadi al-Alusi, Ruhul Ma’ani …,205.
[20] Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Al-Qur`an (Kairo: Dar Syuruq, Juz VIII, 1992), 187.
[21] Hamka Tafsir Al-Azhar … 190.
[22] Ibid., 192.
[23] Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 1623.
[24] Wahbah az-Zuhaili, Al-Munir ….,286; Lihat pula Maulana Muhammad Ali, Qur’an Suci, Juz XXX, terj. H.M. Bachrum (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979), 1594.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar