A. Pendahuluan
Surat adh-Dhuhā termasuk Surat Makiyyah,
terdiri dari 11 ayat, diturunkan sesudah surat al-Fajr. Nama adh-Dhuha dari
kata adh-Dhuhâ yang terdapat pada ayat pertama, artinya waktu naiknya
matahari. Surat ini terletak sesudah surat al-Lail. Surat al-Lail menerangkan
bahwa orang yang bertakwa akan dimudahkan Allah mengerjakan perbuatan takwa
sehingga memperoleh kebahagiaan, sedangkan surat adh-Dhuhā menerangkan bahwa
keberuntungan di akhirat lebih baik daripada keberuntungan di dunia.
Surat adh-Dhuha dibuka dengan sumpah demi dua
waktu yang menggambarkan jam kerja dan jam istirahat, bahwa Allah tidak akan
meninggalkan dan menbenci Rasul-Nya. Kedudukan tinggi di akhirat yang
dijanjikan Allah kepadanya jauh lebih baik daripada apa yang dikaruniakan-Nya
di dunia. Kemudian Allah bersumpah pula bahwa Dia akan memberi Rasulullah
sesuatu yang membuatnya merasa puas. Keadaan masa lalu yang dialami Rasulullah
merupakan bukti dari itu semua. Betapa, sebelumnya, Rasulullah adalah seorang
anak yatim, tetapi kemudian mendapat perlindungan dari Allah. Betapa ia
mengalami kebingungan, tetapi kemudian mendapat petunjuk dari Allah. Dan betapa
pula ia adalah seorang fakir, tetapi kemudian memperoleh penghidupan yang cukup
dari Allah. Ayat-ayat selanjutnya dalam surat ini mengajak manusia untuk
menghormati anak yatim, tidak menghardik orang yang meminta-minta dan
menyebutkan nikmat Allah.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
Rasulullah merasa kurang enak badan sehingga tidak melakukan shalat malam satu
malam atau dua malam. Datanglah seorang wanita, Ummu Jamil istri Abu Lahab,
berkata kepadanya: ”Hai Muhammad aku melihat syaitanmu (malaikat Jibril) telah
meninggalkan engkau”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 93: 1-3) yang
menegaskan bahwa Allah tidak membiarkan Muhammad dan tidak membencinya (Riwayat
asy-Syaukani dan lainnya yang bersumber dari Jundub).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Diperlihatkan kepadaku kemenangan-kemenangan yang akan diperoleh
umatku, sesudah aku meninggal, sehingga aku merasa sangat gembira”. Maka
turunlah ayat ini (S. 93: 4) berkenan dengan peristiwa itu (Riwayat al-Thabrani
dalam kitab Al-Ausath yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan sanad Hasan).
Riwayat yang lain lagi menyatakan bahwa
Rasulullah mengadu kepada istrinya, Sayyidah Khadijah, tentang terputusnya
wahyu. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Tuhanku telah meninggalkan aku dan
membenciku.” Khadijah berkata, “Tidak! Demi Dia yang mengutusmu dengan
kebenaran, Allah tidak memulai kemuliaan ini kepadamu kecuali Dia ingin
menyempurnakannya untukmu.” Maka turunlah ayat, ”Tuhanmu tidak meninggalkanmu
dan tidak pula membencimu.”
B. Teks
Surat dan Terjemah Lafzhiyah-Tafsiriyah
وَالْضُّحَى﴿۱﴾
وَالَّيْلِ إِذَا سَجَى ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى﴿٢﴾ وَلَلأَخِرَةُ
خَيْرُ
لَّك
مِنَ ألأُوْلَى﴿٤﴾ وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى﴿۵﴾ أَلَمْ يَجِدْكَ
يَتِيْمًا فأَوَى﴿٦﴾ وَوَجَدَكَ ضَآلاًّ فَهَدى ﴿۷﴾ وَوَجَدَكَ عَآئلاً فَأَغْنَى﴿۸﴾ فَأَمَّاالْيَتِيْمَ فَلاَ تَقْهَرْ ﴿٩﴾
وَأَمَّا السَّآ ئِلَ فَلاَ تَنْهَرْ ﴿۱۰﴾ وَأَمَّا بِنِعْمَتْكَ فَحَدِّّثْ ﴿١۱﴾
1.
Demi
cahaya pagi yang cemerlang,
2.
Demi
malam bila gelap dan sunyi,
3.
Tiada
Tuhanmu meninggalkan kau dan tiada Ia
membenci kau.
4.
Yang
kemudian sungguh lebih baik bagimu dari yang
permulaan.
5.
Dan
Tuhanmu pasti memberikan padamu apa yang menyenangkan bagimu.
6.
Bukankah
Ia mendapati kau sebagai yatim, dan
memberimu perlindungan?
7.
Ia
mendapati kau tak tahu jalan, lalu menunjuki kau jalan.
8.
Dan Ia
mendapati kau miskin, lalu menjadikan kau kaya.
9.
Karenanya,
anak yatim janganlah kau aniaya.
10.
Dan orang yang bertanya, janganlah kau bentak.
11.
Dan
nikmat Tuhanmu, janganlah sembunyikan olehmu (dan nafkahkanlah)!
- Aku bersumpah demi waktu naiknya matahari
dan waktu kerja.
- Demi malam ketika telah sunyi dan
kegelapannya mulai menyelimutinya.
Aku bersumpah dengan cahaya dan kegelapan murni
yang ajeg, pangkal wujud insani dan bergabungnya alam ruhani dan jasmani.
- Bahwa Tuhanmu, wahai Muhammad, tidak
meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.
Sesungguhnya
Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan terhijab dari Dzat-Nya di alam
Cahaya dan kehadiran al-Qudus, sementara rindumu kepada-Nya di maqam sifat
tetap menyala. Dia tidak membencimu di alam kegelapan dan mencampakkanmu hanyt
bersama makhluk tanpa gelora cinta dan rindu di dalam jiwa, terhijab dari
Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya. Kalaupun Dia seperti meninggalkanmu, maka itu
sekadar untuk membakar rindumu saja.
- Dan bahwa akibat dan akhir keadanmu adalah
lebih baik daripada permulaannya.
Keadaan akhir – yang tak lain adalah penampakan
(tajalli) setelah melalui liku-liku hijab dan rindu yang sangat – itu lebih
baik bagimu daripada keadaan pertama. Sebab, dalam keadaan kedua engkau aman
dari perubahan ke arah munculnya “sisa-sisa” wujud dan egoisme.
- Dan Aku bersumpah pula bahwa Tuhanmu pasti
akan memberi kebaikan dunia dan akhirat sampai kamu merasa puas.
Dia akan memberikan wujud haqqani, untuk
membimbing makhluk dan menyerukan al-Haqq. Ini semua dilimpahkan setelah kamu
mengalami fana murni, sehingga kamu ridha (puas) dengan wujud haqqani
itu, sebagaimana engkau puas dengan wujud manusia biasa.
- Bukankah Allah mendapatimu dalam keadaan
yatim dan membutuhkan seseorang untuk memeliharamu, lalu Dia melindungimu
dengan menyerahkan dirimu kepada orang yang dapat mengurusmu dengan baik?
Bukankah Dia mendapatimu sendirian dalam
keadaan terhijab oleh sifat-sifat jiwa dari cahaya haqiqi ruh al-Qudus,
terputus darinya dan terlantar, lalu Allah menarikmu ke sisi-Nya,
mendidikmu dalam pangkuan-Nya, dan melindungimu supaya ia mengajari dan membersihkanmu.
- Bukankah Dia mendapatimu dalam keadaan
bingung, tidak ada satu kepercayaan pun di sekitarmu yang dapat memberimu
kepuasan, kemudian Dia memberimu petunjuk kepada jalan kebenaran?
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung dari tauhid dzati ketika kamu berada di alam ruh al-Qudus dalam keadaan
terhijab oleh sifat-sifat dari Dzat-Nya, lalu Allah sendiri yang membimbingmu
ke arah hakikat-Nya.
- Bukankah Dia mendapatimu dalam keadaan
tidak memiliki harta, lalu Dia mencukupimu dengan rezeki yang
dikaruniakan-Nya kepadamu?
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, fakir dan tak memiliki apa-apa, fana di dalam-Nya, lalu Allah
mencukupkanmu dengan memberimu wujud-anugerah yang mencapai kesempurnaan
haqqani dan berakhlak dengan akhlak ketuhanan.
9,10,11. Apabila hal ini yang Allah lakukan
terhadapmu, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang kepada anak yatim,
jangan mengusir orang yang meminta-minta dengan kekerasan, dan sebutlah nikmat
Tuhanmu sebagai rasa syukur kepada Allah dan juga untuk menunjukkan nikmat-Nya.
Terhadap orang sendirian yang hatinya remuk
redam, yang terputus dari cahaya al-Qudus, yang terhijab oleh hijab jiwa, maka
janganlah kamu berlaku kasar; sayangilah ia, dengan lemah lembut dan arahkanlah
ia dengan dakwah, dengan hikmah dan nasihat lembut, seperti halnya Aku telah
melindungimu. Adapun orang yang meminta-minta, yang memiliki kesiapan-kesiapan,
tetapi terhijab dan terlantar, yang tak
henti-hentinya mencari mencari arah tujuan, maka janganlah kamu menghardiknya,
dan janganlah kamu mencegahnya untuk bertanya, dan berilah ia petunjuk,
sebagaimana Aku memberi petunjuk kepadamu. Dan terhadap nikmat seperti ilmu dan
hikmah yang dianugerahkan kepadamu di maqam baqa`, maka bicarakanlah
ia dengan cara mengajarkannya kepada orang-orang dan mencukupi mereka dengan
kebaikan hakiki sebagaimana dan Aku telah mencukupkanmu. Wallahu a’lam.
C.
Pembahasan
Surat adh-Dhuha ini dimulai dengan qasam
(sumpah) dengan huruf wawu. Qasam (sumpah) dengan huruf wawu
pada umumnya adalah gaya bahasa untuk menjelaskan makna-makna dengan penalaran
inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang
kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih (objek yang dijadikan sumpah) dilakukan
dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelurusuri
sumpah-sumpah dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam surat adh-Dhuha, kita
menemukannya dikemukakan sebagai latifah (penarikan perhatian) terhadap suatu
gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai
inisiasi ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat
dilihat dan diindera. Dengan demikian, Al-Quran al-Karim, dengan
sumpah-sumpahnya menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan
dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan.
وَالضُّحَى
وَالَّيْلِ
Adh-dhuha dan al-laili
mencakup seluruh waktu.
Allah bersumpah dengan waktu dhuhā saat yang segar, fresh bagi
umat manusia karena baru istirahat di malam hari dan akan melakukan aktivitas
sehari-hari seperti biasa.
Di saat ini disunnahkan untuk shalat Dhuha dengan harapan akan memperoleh
kemudahan, berkah dalam berkarya dan memperoleh hasil optimal.
Allah bersumpah dengan waktu malam, saat di
mana suasana menjadi gelap gulita setelah datangnya terang benderang. Malam
adalah saat istirahat manusia untuk mengumpulkan kembali energi yang telah
terkuras di siang hari. Di malam hari ini disunahkan untuk melakukan shalat
Tahajjud agar memperoleh kekuatan dan kemuliaan dalam hidup yang akan dijalani
di pagi hari di mana manusia banyak menemui ujian dan rintangan untuk mencapai
cita-cita dan harapan.
Ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya
memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga
tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran,
kenyamanan dan kesehatan.
Di sini Allah melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya
matahari yang sinarnya jelas, menyegarkan dan menyenangkan, sedangkan ketidak-hadiran
wahyu dinyatakan dengan kalimat, “demi malam ketika hening”.
Dengan dua hal yang bertolak belakang ini Allah
menafikan dugaan atau anggapan yang menyatakan bahwa Muhammad SAW telah
ditinggalkan oleh Tuhannya atau bahkan Tuhan telah membencinya. Kehadiran malam
tidak menjadikan seseorang berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, maka
ketidak-hadiran wahyu beberapa saat tidak dapat dijadikan alasan untuk
menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi.
مَاوَدَّعَكَ
رَبُّكَ وَمَاقَلَى
Terputusnya wahyu bukan karena kemarahan Allah,
tetapi mengandung hikmah. Tentang jangka waktu terputusnya wahyu ada beberapa
pendapat, yakni dua hari, empat hari, 15 hari, dan 40 hari. Ketidak-hadiran wahyu itu
justru di saat Muhammad menanti-nantikannya. Hal ini membuktian bahwa wahyu
adalah wewenang Allah sendiri. Walaupun keinginan Muhammad meluap-luap
menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan
datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan hasil renungan atau bisikan jiwa.
Berangsur-angsurnya pewahyuan itu mengandung maksud dan tujuan tertentu, yaitu
untuk meneguhkan hati Nabi dan menjawab pertanyaan.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam Firman Allah SWT yang artinya: Dan mereka
yang kafir berkata, “Mengapa Al-Quran yang diturunkan kepadanya tidak
sekaligus?” Diwahyukan demikian supaya dengan itu menguatkan hatimu, dan Kami
membacakannya satu demi satu. Dan setiap mereka datang kepadamu dengan suatu
pertanyaan, Kami memberikan kepadamu kebenaran dan penafsiran yang
sebaik-baiknya.” (QS al-Furqan [25] : 32-33). Jadi keterlambatan wahyu itu
justru untuk memantapkan dan menguatkan jiwa beliau atas kemungkinan datangnya
wahyu terus-menerus hingga sempurna pengutusan beliau untuk membawa kebenaran.
وَلَلْأَخِرَةُ
خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْلأُوْلَى
Pekerjaan awal selalu mengalami kesulitan,
tetapi pada akhirnya pasti ada kemudahan seperti dijelaskan dalam QS
al-Insyirah [94]: 5-6:
فَإْنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿۵﴾ إِنَّ مَعَ
الْعُسْرِ يُسْرًا﴿٦﴾
Sungguh
bersama kesukaran ada kemudahan, (5) sungguh bersama kesukaran ada kemudahan
(6).
Ketika suatu pekerjaan dimulai, pasti mengalami
hambatan, perlawanan, dan tantangan.
Namun pada akhirnya akan mencapai kemenangan gilang gemilang. Tahapan-tahapan
pekerjaan merupakan proses demi proses yang harus dijalani. Demikianlah sejarah
perjuangan senantiasa berlaku dan berjalan. Anugerah Allah akan diberikan lebih
banyak: harga diri (prestise), prestasi, kesempurnaan dan kebesaran
jiwa, ilmu dunia dan akhirat, pengetahuan tentang umat terdahulu, ketinggian
agama, penaklukkan-penaklukkan beberapa negara, baik di zaman Nabi maupun para
Khalifah yang membentang ke Timur dan Barat, ridha Allah dan kebahagiaan.
Allah memberikan anugerah kenabian, syafa’at kepada umatnya dan umat lain di
hari Kiamat.
Alternatif masa depan sebagai horizon rencana
ada lima:
- Masa depan terdekat, dimulai sejak saat
ini sampai dengan tahun depan; pilihannya agak terbatas masih bergantung
pada masa lalu.
- Masa depan yang dekat, satu sampai lima
tahun; banyak pilihan rencana yang dapat dibuat dan membawa perkembangan
besar tetapi tidak membawa perkembangan yang bersifat revolusioner.
- Masa depan satu generasi, lima sampai
sepuluh tahun, diperlukan untuk menumbuhkan dan mematangkan satu generasi.
Keputusan dan kebijaksanaan yang diambil sekarang dapat mempengaruhi masa
depan generasi berikutnya. Dengan wawasan ke depan diciptakannya keadaan
yang sesuai, hampir semua rencana dapat menjadi kenyataan dalam jangka
waktu ini.
- Masa depan multi generasi (jangka
panjang), 50-100 tahun; pada umumnya tidak dapat dikendalikan dari
sekarang, tetapi juga tidak mustahil untuk melihat atau merebut kesempatan
terhadap krisis di depan.
- Masa depan yang jauh: 50 tahun dan
seterusnya hanya mungkin untuk membuat spekulasi.
Adapun perencanaan masa depan adalah sebagai
berikut:
- Perencanaan masa depan secara sengaja
diarahkan kepada nilai-nilai yang telah diuji perencanaannya dan
diakselerasikan pada tindakan. Perencanaan menekankan pada jalur-jalur
alternatif, bukan proyeksi linier dan terpusat pada hubungan antara
berbagai kemungkinan pengaruh timbal-balik dari satu hal kepada yang lain
serta implikasi-implikasi yang mungkin dari pengaruh semacam itu.
- Perencanaan masa depan dirancang untuk
merujuk ke jalur-jalur alternatif yang lebih banyak dibandingkan dengan
perencanan yang lazim.
- Perencanaan tradisional cenderung bersifat
khayal, memandang hari esok semata-mata sebagai model kini yang telah
dikembangkan. Riset masa depan menyadari perlunya penglihatan ke depan dan
perencanaan konsep-konsep masa depan yang sama sekali berbeda.
- Perencanaan ini bersifat studi rasional
mengenai perkembangan pada masa depan dan konsekuensinya serta memberikan
perhatian yang lebih kecil pada analisis statistik atau proyeksi perse.
وَلَسَوْفَ
يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
Allah berjanji akan memberi karunia yang banyak
dan nikmat yang besar di dunia dan akhirat. Bagian di dunia adalah kemenangan
dalam agama, sedangkan di akhirat adalah ganjaran dan kemuliaan serta syafaat
bagi umat Rasulullah sehingga ia merasa puas. Hal ini menunjukkan ketinggian
dan kemuliaannya di dunia maupun akhirat. Demikian itu disebabkan agama dan
kedudukan Nabi yang semakin tinggi dan terpandang di antara para Nabi dan
manusia lainnya, yaitu syafaat yang besar pada hari kiamat nanti.
أَلَمْ
يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَأَوَى
Ketika Rasulullah berada dalam kandungan ibunda
Aminah dua bulan, ia ditinggal wafat ayah terinta, Abdullah. Setelah lahir
tiada lama ia juga ditinggal wafat ibunda Aminah, maka jadilah Muhammad seorang
anak yatim piatu. Halimatus Sa’diyah menyusuinya hingga berusia 4 tahun, Sejak
itu Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib. Sepeninggal kakeknya,
pamannya Abu Thalib menggantikan pengasuhan dirinya hingga dewasa. Dengan
demikian pengasuhan Rasulullah sejak yatim piatu hingga dewasa oleh orang-orang
yang mencintainya merupakan perlindungan Allah, sehingga kesedihan Muhammad
yang ditinggal ayah ibu dapat terobati.
وَوجَدَكَ
ضَآلاًّ فَهَدَى
Rasulullah tidak menyukai kebiasaan orang-orang
Arab Jahiliyah dan musyrik: menyembah berhala, menjadi rentenir, memperbudak
manusia dengan sewenang-wenang, mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup,
berperang karena masalah-masalah kecil. Beliau tidak suka, tetapi tidak tahu
bagaimana cara memperbaikinya, lalu tertarik hatinya untuk membersihkan jiwa
dengan berkhalwat di gua Hira hingga akhirnya memperoleh wahyu pertama dan
selanjutnya.
Allah menjelaskan dalam QS Asy-Syūrā [42] : 52,
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنآإِلَيْكَ رُوْحاًمِّنْ أَمْرِنَامَا كُنْتَ تَدْرِى مَاالْكِتَابُ
وَلاالْإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَهُ نُوْراً نَهْدِى بِهِ مَنْ نَشَآءُ مِنْ
عِبَادِنَاوَإِنَّكَ لَتَهْدِى إِلَى ًشرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
Dan
demikianlah, Kami sampaikan kepadamu wahyu atas perintah Kami, yang sebelumnya
tak kauketahui Kitabitu apa dan iman itu
apa. Tetapi Kami jadikan Al-Qur`an cahaya; Kami bimbing siapa yang Kami
kehendaki dari hamba-hamba Kami; dan engkau pasti membimbing manusia ke jalan yang lurus.
وَوَجَدَكَ
عَآئِلاً فَأَغْنَى
Beliau hidup miskin, karena ayahnya tidak
meninggalkan warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya
yang tak berarti. Memasuki masa dewasa, Nabi bertemu dengan Khadijah, seorang
janda kaya yang mempercayakan perniagaan kepada Muuhammad karena kejujuran
beliau. Melalui kerja sama niaga ini Khadijah akhirnya menjadi istri Muhammad
hingga kerasulannya. Pernikahan Rasulullah dengan Khadijah membuat dirinya
terhormat di mata orang-orang Quraisy yang ternama karena keturunan dan
hartanya.
Kekayaan Khadijah menjadi penopang utama
Rasulullah dalam berjuang menegakkan Risalah-Nya. Peninggalan harta Khadijah
dapat menjaga muruah beliau. Demikian juga kesiapan Abu Bakar menyerahkan
seluruh hartnya untuk perjuangan Rasulullah menambah kuatnya logistik umat
Islam di samping harta para Shahabat lainnya.
فَأَمَّا
الْيَتِيْمَ فَلاَ تَقْهَرْ
Nabi merasakan menjadi anak yatim, maka
terhadap anak yatim Nabi sangat menyayangi dan menaruh perhatian yang tinggi. Salah satu di
antaranya ia menikahi Umu Salamah yang ditinggal mati suaminya ketika berperang
dan menjadi syahid, meninggalkan seorang istri dan anak-anak yatim dan
menyantuni mereka. Bahkan dalam salah satu hadis ia menggambarkan bahwa di
dalam surga nanti antara Rasulullah dan anak-anak yatim seperti jari tengah dan
jari telunjuk (Hadis riwayat Imam Bukhari dan
Imam Ahmad).
وَأَمَّا
السَّآئِلَ فَلاَ تَنْهَرْ
Mereka yang datang ingin menanyakan sesuatu,
mungkin mereka memang benar-benar peminta-minta yang mengharapkan bantuan dana,
atau orang yang tidak tahu dan ingin memperoleh pengetahuan, atau orang yang
takut-takut mengharapkan tuntunan dan dorongan.
Jika ada yang meminta tolong, baik ilmu maupun harta tidak perlu kau
menghardik, tetapi hendaknya melayani dengan baik.
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثّْ
Mensyukuri nikmat Allah melalui hati (rasa
puas, ridha, suka cita) ucapan dengan kata syukur: Alhamdulillah, dan
perbuatan dengan cara mendermakan sebagian harta dan memanfaatkan anugerah
Allah sesuai dengan aturan dan tujuan penganugerahannya. Di antara anugerah tak
ternilai kepada nabi Muhammad SAW adalah kenabian dan Al-Qur`an.
Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus
ditujukan kepada Allah. Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan
kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah “alhamdulillah” ini bukan
berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara
kehadiran nikmat Allah.
D.
Renungan
Ketika Allah bersumpah dengan
makhluk-makhluk-Nya, ini mengandung arti betapa pentingnya makhluk tersebut,
baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun waktu bagi kehidupan manusia. Sumpah Allah
dengan waktu dhuhā (sepenggalahan siang) dan lail (malam)
memotivasi umat agar benar-benar menghargai waktu, karena malam dan siang
merupakan satu kesatuan yang mengikat seluruh aktivitas manusia. Manusia
seharusnya dapat mengisi waktu-waktu tersebut dengan aktivitas yang bermanfaat,
karena perjalanan manusia dalam usahanya untuk mengisi umur ada dalam lingkaran
waktu.
Hidup manusia tidak seperti garis yang bersifat
linier terus ke depan (maju), tetapi lebih seperti perputaran waktu (yang
berbentuk siklus), yang kadang-kadang berada di bawah, tengah atau berada di
puncak. Berputarnya kehidupan seseorang membuat hidup ini menjadi dinamis dan
mengajarkan umat agar senantiasa berhati-hati, waspada dan serius tetapi rileks
dalam menghadapi semua ujian dan cobaan karena semuanya bersifat sementara,
tidak ada yang abadi, seperti kata pepatah,
“Badai pasti berlalu”. Yang terpenting adalah usaha keras dan optimal
untuk mencari alternatif-alternatif baru dengan rencana yang matang untuk
meraih masa depan yang lebih baik.
Kalimat atau ayat walal-ākhiratu khairun
laka min al-ūlā menunjukkan bahwa jika suatu perkara ditangani dengan
serius, yang datang kemudian pasti akan lebih baik daripada yang ada lebih
dulu. Islam mengajarkan umatnya untuk maju, progress, bukan set-back,
mundur dan berandai-andai, tetapi melihat ke depan, selalu bekerja dan berbuat
untuk jangka panjang, bukan instant, kesenangan sesaat, karena akhirat
lebih baik dan lebih abadi dari dunia ini.
Kebaikan dan kasih-sayang Allah, dan anugerah
yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya lebih besar, lebih banyak jika
dibandingkan ujian dan cobaan yang diberikan kepadanya. Maka ketika menerima
cobaan niscaya manusia sabar dan ikhlash, karena ujian itu tak sebanding dengan
anugerah-Nya.
Perintah untuk menyayangi dan menyantuni anak
yatim memotivasi umat untuk menyelenggarakan panti asuh dan panti anak yatim,
di samping memotivasi umat memnggalang dana menjadi orang tua asuh untuk
memberi bea siswa bagi mereka yang tak berpunya. Lebih jauh lagi ayat ini
mendorong sebuah Negara untuk membuka Departemen Sosial. Hal ini merupakan
kesempatan dan peluang bagi umat untuk
menanam kebaikan sebanyak-banyaknya.
Mensyukuri nikmat sesuai dengan petunjuk Allah
tidak akan mengurangi anugerah pemberian-Nya, tetapi malahan akan menambah,
karena syukur itu “membuka”, lawan dari
kufur, “menutup”. Sebagaimana janji Allah, jika kita pandai mensyukuri nikmat
Allah, pasti Ia menambah dan melipatgandakan anugerah-Nya. Bersyukur berarti
mengalirkan nikmat Allah ke tempat-tempat lain yang lebih luas, sehingga
kenikmatan itu lebih merata, tidak hanya berputar-putar di satu tempat.
Kebahagiaan, baik kebahagiaan materi, ilmu maupun spiritual, tidak seharusnya
dinikmati oleh segelintir orang saja, tetapi untuk sekalian alam.
E. Penutup
Surat adh-Dhuhā merupakan salah satu di
antara wahyu Allah yang mengandung hikmah bagi kehidupan umat di masa yang akan
datang, karena Allah memiliki tujuan yang mulia.
Makna terdalam dari surat Adh-Dhuhā
dapat diperoleh jika kita mau mencermati dengan saksama dan mengamalkan
substansi yang terkandung di dalam untaian ayat-ayatnya, karena keabsahan wahyu
Allah tetap berlaku hingga akhir masa.
Ujian Allah tidak hanya diberikan kepada
orang-orang yang durhaka, tetapi ujian akan diberikan kepada setiap manusia,
termasuk hamba-Nya yang paling Ia cintai, Nabi SAW. Allah yang menciptakan
hidup dan mati bagi manusia tiada lain untuk menguji siapa di antara mereka
yang paling baik amalnya.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad. Tafsir Juz ‘Amma.,
terjemah Mohd. Syamsyri Yoesoef dan Mujiyo Nurkholis. Bandung: Sinar Baru,
1993.
Abdurrahman Aisyah, Tafsir Bintusy-Syathi`,
terjemah Mudzakir Abdussalam, Bandung: Mizan, 1996.
Ali, Abdullah Yusuf, Quran Terjemahan dan
Tafsirnya, terjemah Ali Audah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Ali Maulana Muhammad, Qur`an Suci,
terjemah H.M. Bachrum Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979.
al-Alusi, Mahmud al-Baghdadi, Ruhul Ma’ani.
Mesir: Dār Fikri, Juz XXX, tt.
Arabi, Muhyiddin Ibn. Isyarat Ilahi Tafsir
Juz Amma Ibn Arabi, terj. Cecep Ramli Bihar Anwar. Jakarta: Iiman, 2002.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka
Pnjimas, 1982.
Khadim al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur`an
dan Terjemahnya. Saudi Arabi, 1971.
Majelis Tinggi Urusan Agama Al-Azhar –
Kementerian Wakaf Republik Rakyat Mesir, Al-Muntakhab, Kairo: Mathabi’
Al-ahram, 2001.
Qutb, Sayyid, Fi Zhilali Al-Qur`an.
Kairo: Dar Syuruq, 1992.
Rachman, Budhy-Rachman (ed.). Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.
Sardar Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan, 1993.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1996
az-Zuhaili Wahbah. At-Tasir Al-Munir. Beirut: Dar al-Fikr
al-Mu’ashir, 1991